Kamis, 05 Februari 2009

Kebudayaan Kedurang

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam penulis ucapkan. Penulis bersyukur atas selesainya tugas folklor Kedurang ini. Tugas ini adalah tugas mata kuliah Ilmu Soial dan Budaya Dasar (ISBD).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah ISBD (Ilmu Sosial dan Budaya Dasar) Bapak Agus Joko yang telah membimbing penulis dalam pengerjaan tugas ini. Dalam penulisan makalah ini.

Kendala yang penulis hadapi dalam pembuatan tugas ini adalah pencarian data. Pada jaman serba teknologi sekarang, tentu meda internet menjadi sumber yang mudah didapat dalam mencari bahan tugas ini. Namun tidak yang penulis rasakan. Bahan yang penulis butuhkan dalam pembuatan tugas folklore Kedurang, sangat sedikit di internet. Sehingga penulis mencari informasi dari narasumber secara langsung, yaitu orang yang mengerti tentang kebudayaan Kedurang.

Penulis sadar bahwa tugas ini belum sempurna. Masih banyak kekurangan dan kesalahan pada tugas ini, maka dari itu penulis mengucapkan maaf. Penulis sangat berharap agar pembaca dapat memberikan kritik yang membangun, agar dapat menjadi pembelajaran bersama. Dan penulis juga berharap agar tugas ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya, amin

Bengkulu, Januari 2009

Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar.......................................................................................... 1

Daftar Isi................................................................................................... 2

Bab 1 Pendahuluan................................................................................... 4

1.1. Sejarah Singkat Pasemah........................................................... 4

1.2. Gambaran Umum Kedurang....................................................... 9

Bab 2 Tarian Adat Kedurang....................................................................... 13

Tarian Sunah Rasul.................................................................................... 13

Bab 3 Pernikahan Adat.............................................................................. 15

3.1. Tradisi Begadisan pada Suku Pasemah....................................... 15

3.2. Pernikahan Adat Kedurang dan Tarian yang mengiringinya........ 20

3.3. Pesta Pernikahan...................................................................... 24

Bab 4 Pakaian Adat.................................................................................... 30

4.1. Pakaian Adat Kedurang............................................................. 30

4.2. Songket Pasemah..................................................................... 31

Bab 5 Hukum Adat..................................................................................... 35

Bab 6 Sastra............................................................................................... 36

6.1. Bahasa Kedurang....................................................................... 36

6.2. Sastra Lisan Betadut.................................................................. 39

6.3. Tulisan Ka-Ga-Nga..................................................................... 39

6.4. Pantun...................................................................................... 41

6.5. Cerpen berbahasa Pasemah..................................................... 46

6.6. Cerita Daerah............................................................................ 63

Bab 7 Rumah Adat..................................................................................... 66

Bab 8 Sistem Pertanian.............................................................................. 74

Bab 9 Makanan Tradisional........................................................................ 76

Bab 10 Obat Tradisional............................................................................. 81

Daftar Narasumber.................................................................................... 82

Daftar Pustaka........................................................................................... 83

Bab 1

Pendahuluan

1.1. Sejarah Singkat Pasemah

MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel). Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.

Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.

Belakangan bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. "Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah," ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.

Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.

PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.

Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.

Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu "Prasasti Palas Pasemah" ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M.

Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.

Disebutkan, setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.

Lantas, Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.

Menurut Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due (dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi modern.

"Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang," tegas Saman penuh bangga.

Hanya saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengah
masyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.

Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike (julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama orang Semidang untuk membatalkan perjanjian "Sindang Merdike" dengan Belanda.

Berbagai ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak, begitu Lampik Empat "terkubur", lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun di tanah Pasemah.

MAKIN tenggelamkah "Sindang Merdike" saat ini? Menurut budayawan Pasemah, Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai dengan keinginan penguasa.

Lembaga-lembaga lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi. Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.

Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.

Dilukiskan, cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial. Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.

"Dengan diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua yang melanda Pasemah," tutur Saman.

Imbalan dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu, hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan dicap sebagai antipembangunan.

"Ketika itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali," ia menambahkan.

Tentang keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.

"Terus terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi daerah," ujarnya.

Akankah "Sindang Merdike" itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu sendiri.

Sebab, sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan "Penjaga Perbatasan", idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu, jelas bukan sebuah jawaban yang tepat.

1.2. Gambaran Umum Kedurang

Kedurang adalah sebuah kecamatan di Bengkulu Selatan. Kecamatan kedurang terdiri dari 26 desa. Kondisi alamnya bertebing-tebing yang di aliri sungai berair jernih dan berbatu. Jika dilihat dari atas awan, Kedurang di tampak hijau dengan bukit barisan di tepinya. Karena dekat dengan pegunungan, tanah di daerah ini berbatu. Dalam hal pertanian tidak asing jika di sawah-sawah penduduk banyak terdapat batu.

Masyarakat Kedurang tergolong suku pasemah. Kebanyakan suku di daerah Bengkulu Selatan adalah suku serawai, namun Kedurang dan Padang Guci yang termasuk ke suku pasemah. Pasemah sendiri sebenarnya adalah sebuah tempat di daerah Sumatera selatan, namun jaraknya dengan Kedurang hanya dibatasi oleh Bukit Barisan.

Gambar 1

Muara Kedurang

Berikut adalah Data mengenai desa di kecamatan Kedurang

Jumlah Keluarga
Tahun 2003

Prop.

:

BENGKULU

Kab.

:

BENGKULU SELATAN

Kec.

:

KEDURANG

Desa

Keluarga

LUBUK LADUNG

209

AIR SULAU

500

SUKA RAJA

48

LIMUS

110

PENINDAIAN

84

PADANG BINDU

80

NANJUNGAN

77

PAGAR BANYU

75

SUKARAMI

114

BETUNGAN

124

KARANG CAYA

68

LAWANG AGUNG

286

DURIAN SEBATANG

400

PAJAR BULAN

275

TANJUNG BESAR

71

MUARA TIGA

200

SUKANANTI

140

TANJUNG NEGARA

100

TANJUNG ALAM

192

KEBAN AGUNG III

92

KEBAN AGUNG II

140

KEBAN AGUNG I

138

PALAK SIRING

486

BUMI AGUNG

173

RANTAU SIALANG

292

BATU AMPAR

538

Jumlah

5,012

Sumber : BPS, Podes 2003

Bab 2

Tarian Adat Kedurang

Tarian Sunah Rasul

Masyarakat Kedurang memiliki kebudayaan yang apik. Ada sebuah tradisi bagi masyarakat Kedurang yang memiliki anak perempuan yang akan beranjak remaja. Biasanya anak perempuan yang melakukan tarian ini berusia enam sampai tujuh tahun. Tarian ini dilakukan anak perempuan tersebut dengan dibantu oleh seorang nenek yang dianggap sesepuh keluarganya. Nenek tersebut membimbing si anak melakukan tarian berupa mengelilingi tunas kelapa sebanyak tujuh kali.

Anak perempuan yang melakukan tarian Sunah Rasul tersebut menggunakan pakaian adat Kedurang yang berupa kebaya berbahan beludru berwarna merah dan memakai hiasan di kepala yang telah disanggul. Penari yang berjumlah satu orang itu juga menggunakan selendang yang diletakkan di kedua tangan dengan posisi seperti orang islam berdoa. Kemudian anak tersebut mengelilingi tunas kelapa sebanyak tujuh kali.

Setelah itu penari melemparkan beras dan uang receh yang telah disiapkan keluarga. Uang receh dan beras tersebut dihamburkan bersama-sama ke udara. Di depan penari yang melemparkan beras dan uang receh tersebut, telah berkumpul anak-anak sebayanya yang menunggu uang receh tersebut jatuh ke tanah. Anak-anak kecil tersebut berebutan mengambil uang receh yang berserakan di tanah.

Maksud dari tarian ini adalah agar anak perempuan tersebut berguna nantinya seperti psebatang pohon kelapa. Menghamburkan beras maksudnya adalah agar mudah mendapatkan jodoh, kata mereka “luk ayam ngarapka beghas” maksudnya adalah gadis kecil tadi laksana beras yang banyak diminati ayam (pria). Kemudian uang receh yang dimaksudkan agar anak tersebut makmur nantinya.

Berikut ini adalah gambar seorang anak yang melakukan tarian sunah rasul.

Gambar 2

Penari Sunah Rasul

Bab 3

Pernikahan Adat

3.1. Tradisi Begadisan pada masyarakat suku Pasemah

Dalam hal pacaran pemuda pemudi di Kedurang dan daerah pasemah lainnya memiliki tradisi “begadisan” yaitu suatu tradisi seorang laki-laki bertamu ke rumah gadis dalam rangka mengenal pribadi yang mengarah ke hubungan khusus (pacaran). Dalam istilah pasemah begadisan ini bertujuan dalam rangka mencari calon pacar atau dalam bahasa pasemah disebut juga “cakagh santingan” (mencari pacar) atau juga dimanfaatkan untuk mencari pendamping hidup atau isteri, dalam bahasa pasemah disebut “cakagh bunting” (mencari isteri).

Kegiatan ini merupakan wadah komunikasi bujang dan gadis untuk saling mengenal pribadi satu sama lain sebelum mereka memutuskan untuk menjalin sebuah mahligai rumah tangga.

Dalam kelangsungan kegiatan begadisan ini “pengerbaian” ikut berperan penting dalam pelaksanaan sukses atau gagalnya kegiatan tersebut. Pengerbaian yang dimaksud adalah ibu atau tuan rumah gadis yang telah menikah dan berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi jalannya begadisan.

Begadisan juga biasa dilakukan pada saat musim panen padi tiba, musim libur sekolah serta acar pernikahan dan jamuan lainnya. Trdisi ini masih dilakukan oleh masyarakat pasemah seperti di Kaur Utara. Di samping itu begadisan tidak dilakukan untuk seseorang yang ada hubungan kekerabatan, atau dalam satu dusun, dan juga orang yang telah menikah khusunya duda.

a. Tahap pra begadisan

Pada tahap ini sering disebut dengan tahap meminta izin bagi para tamu (bujang) kepada “pengerbai” untuk menyampaikan maksud kedatangannya dengan cara salah satu di antara mereka mengetuk pintu belakang atau dinding sebagai tanda meminta izin, dalam fase ini kegiatan yang dilakukan oleh para bujang yang ingin begadisan adalah memberi salam pembuka. Begadisan bisa dilakukan oleh empat bahkan sepuluh bujang. Semakin cantik sang gadis, maka semakin banyak bujang yang ingin “begadisan” dengannya.

Adat bagadisan ini aslinya dilakukan pertama dengan cara mengetuk dinding yang terbuat dari papan oleh para bujang. Setelah itu tuan rumah yaitu kerbai atau ibu sang gadis menyambut salam mereka. Di sini harus ibu-ibu karena sang bapak gadis tersebut tidak boleh turut campur dalam acara begadisan tersebut. Dalam tradisi begadisan yang asli, antara para bujang yang datang kerumah gadis dan sang gadis tidak boleh bertemu atau bertatap muka. Mereka hanya bisa berbicara dengan sang gadis secara bergantian melalui sebuah lubang kecil yang telah dibuat oleh tuan rumah.

Sebelumnya bujang telah mengetahui rumah yang ia ketuk itu adalah rumah gadis yang mereka inginkan untuk “begadisan”. Begadisan dilakukan pada malam hari sekitar jam delapan malam hingga tengah malam. Apabila lewat dari waktu yang ditentukan, maka bujang daerah itu akan menegur para bujang yang begadisan di rumah sang gadis. Begadisan tidak ditentukan harus malam apa, bebas tak harus malam minggu seperti “ngapel” yang dilakukan oleh pemuda jaman sekarang.

Namun lama-kelamaan tradisi begadisan tidak lagi dilakukan melalui lubang kecil. Begadisan mulai dilakukan di dalam ruangan di rumah sang gadis, yaitu di ruangan dapur sang sang gadis. Umumnya rumah orang Kedurang dulu menggunakan papan. Para bujang mengetuk pintu dapur rumah sang gadis dan mengutarakan salam dengan “kerbai” yaitu ibu sang gadis, isi salam mereka adalah meminta izin untuk “begadisan” dengan anaknya. Kemudian begadisan tidak dilakukan di dapur lagi tetapi dilakukan di ruang tamu namun tetap masih di bawah pengawasan kerbai.

Dan inti dari semua percakapan yang terdapat pada fase utama ini merupakan “prasyarat” yang ditujukan kepada orang tua gadis yang sedang bersama-sama dengan anak gadisnya. Diharapkan dari berbagai pertanyaan tersebut nantinya orang tua dapat mengerti dan sekaligus menyampaikan kepada sang gadis tentang maksud dan tujuan kepada bujang.

Selain itu, didalam mengungkapkan berbagai gaya bahasa yang tujuannya adalah untuk memperhalus pembucaraan dan menarik perhatian dari orang tua sang gadis.

Adapun contoh obrolan saat pra begadisan bujang dari Kedurang ke daerah Padang Guci

Bujang : “Tok…tok…tok…”

Kerbai : “Sape ceh?” (siapa ya ?)

Bujang : “Kami Bung jauh jak di Kedurang, amu kah pacak ndak ngubul ngah gadis kamu”

(kami Bik, bujang jauh dari Kedurang, kalau boleh ingin ngobrol dengan anak gadismu)

Kerbai : “Kudai nanyei nye kudai”(sebentar tanya dia dulu)

b. Tahap begadisan (Ngayap gadis)

Seperti penulis paparkan diatas, tradisi begadisan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Begadisan yang aslinya dulu dilakukan dengan cara berbicara melalui sebuah lubang kecil pada dinding papan rumah sang gadis, tidak adanya tatap muka antara para bujang dan sang gadis. Setelah itu, begadisaan yang dilakukan melalui lubang kecil tersebut mulai ditinggalkan. Begadisan dilakukan dengan cara bertemu di dapur sang gadis. Di dapur rumah sang gadis ini berkumpulah para bujang, posisinya berhadapan dengan sang gadis yang didampingi oleh kerbai, yang dapat diwakilkan oleh sang ibu, bibi sang gadis, nenek, dan sanak saudaranya yang lain yang harus telah menikah (ibu-ibu).

Begadisan ini dilakukan dengan cara berkumpul di dapur rumah sang gadis. Dapur orang dahulu umumnya berukuran luas sekitar 4 x 6 Meter. Para bujang berkumpul di hadapan sang gadis dan kerbai yang dapat diwakili oleh ibu sang gadis, bibi sang gadis, atau wanita yang telah menikah. Kerbai berfungsi sebagai pengawas dalam proses berlangsungnya “begadisan”. Dalam acara begadisan ini obrolan dilakukan dengan berkirim surat pendek yang ditulisakan oleh para bujang dan dibalas oleh sang gadis. Tradisi mengirim surat pendek yang dilakukan antara para bujang dan sang gadis disebut “merekis”.

Merekis ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan isi surat antara para bujang dan sang gadis. Namun dalam ruangan ini bukan berarti tidak boleh ada suara, namun suara yang berasal dari bujang yang isinya tentang ungkapan cinta sang bujang tidak boleh terjadi, namun apabila ada obrolan kehidupan sehari-hari boleh saja dibicarakan di ruangan tersebut. Bujang-bujang yang baru datang boleh langsung saja masuk ke ruangan dapur namun tidak ribut. Karena tujuan dari meghekis ini adalah untuk menjaga kerahasiaan isi surat, untuk menciptakan ketenangan dalam proses begadisan, menjunjung sportifitas, dan menjaga perasan sang bujang bila cintanya di tolak oleh sang gadis.

Setiap bujang menuliskan isi hatinya kepada sang gadis melalui surat yang ditulis di sepotong kertas secara bergiliran. Setelah itu, gadis akan membalas setiap surat dari bujang. Setiap bujang akan mendapatkan isi surat yang berbeda dari sang gadis sesuai dengan isi rekisan dari sang bujang.

Bagi para bujang yang begadisan tersebut, sportifitas sangat dijunjung tinggi dalam forum begadisan. Tidak ada perkelahian dalam proses begadisan. Mereka saling menghormati satu sama lain. Mereka menyerahkan keputusan cintanya diterima atau ditolak oleh sang gadis. Apabila salah satu diantara para bujang berhasil mendapatkan hati sang gadis, bujang yang terpilih diberikan selendang sebagai tanda sbahwa hati sang gadis telah terpikat oleh sang bujang terpilih, bujang yang lain harus mundur dan tidak menggangu hubungan antara bujang dan gadis tersebut. Begadisan juga boleh dilakukan berulang-ulang selama gadis tersebut belum ada pacar.

Begadisan ini disebut tahap ngayap gadis dan dilaksanakan atau diterima para tamu untuk masuk ke ruangan yang telah disediakan. Adapun inti dari tahap ini adalah mengungkapkan perasaan oleh penutur kepada lawan tuturnya. Namun secara rinci tahap ini berisikan tentang keinginan bujang terhadap gadis untuk membina hubungan sebagai seorang kekasih atau bahkan menjadi suami isteri.

c. Tahap pasca begadisan

Pada tahap ini adalah tahap selesai dan berakhirnya kegiatan ini secara empiris dampak-dampak yang ditimbulkan tidak bersifat konkrit. Tetapi dari kegiatan ini akan Nampak pada perilaku dan tata kelakuan pergaulan bujang dan gadis masyarakat Pasemah melalui interaksi sosial. Apakah kegiatan in ibis berlanjut ke hubungan selanjutnya (besantingan) atau tahap perkawinan atau hanya sekadar basa-basi dan tidak bisa dilanjutkan.

Adapun contoh percakapan awal menuju isi adalah :

Bujang : “Kapanlah luk ape ketaman Bung?’(bagaimana hasil panen Bik?)

Gadis : “ Luk mane kirenye amu lah udim berangkut kele? Lum kah masak lemang beghumbak?” (bagaimana kiranya, kapan akan masak lemang untuk pesta perkawinan)

Kerbai : “ Ntah lum keruan nian. Masih siap puntunge saje. Anye amu kirenye dating kentut beghayik, lah ade ye sutik tinggal ye laine agi” (entahlah belum tahu, masih siap kayu bakar saja, tapi tak tahu kalaupun misalnya dating jodoh mendadak tidak masalah)

Bujang : “Aseku lah teghase juge, ade mbak mane kate jeme dusun aku nilah dikicikkah luk niyugh gayuh, laghat amu ndak kendak mak lah ngajung umbat mak ini (menurut mungkin kamu sudah dekat dengan jodoh, beda dengan aku, orang dusunku sudah mengatakan aku bujang tua. Kalau mau ibuku sudah menyuruhku menikah sekarang, tapi belum ada yang mau)

Kerbai : “Ringkih mbak katenye tu, anye titu masih ndak nurutkah serile, bukan asak belamuk” (benar kata ibumu, tapi juga masih harus menurutkan selera, jangan asal hantam)

Apabila seorang bujang telah menjalin hubungan sebagai seorang kekasih dengan sang gadis, maka ada tradisi “nyemantung”. Yaitu tradisi sebagai acara makan-makan yang dilakukan oleh sang bujang yang telah berhasil mendapatkan hati sang gadis. Tradisi “nyemantung” ini dilakukan oleh sang bujang. Sang bujang yang telah menjadi pacar sang gadis dalam tradisi ini membawa seekor ayam jago, bumbu-bumbu masak, bahan-bahan untuk membuat gelamai (dodol), gula dan kopi bubuk atau teh.

Sang bujang membawa ayamjago, bumbu masak, dan bahan untuk membuat gelamai tadi ke rumah sang gadis. Bahan-bahan tersebut dimasak dan diolah oleh keluarga dan teman-teman sang gadis dirumah sang gadis. Tradisi ini bisa dikatakan sebagai syukuran kecil-kecilan yang di lakukan oleh sang bujang.

Ayam yang di bawa sang bujang tadi digulai, dan bahan untuk membuat gelamai tersebut dibuat menjadi gelamai. Gelamai biasanya dimasak oleh kaum pria, karena proses membuatnya dengan cara diaduk dan membutuhkan tenaga yang kuat.

Malamnya setelah semua dimasak dan diolah, sang bujang, sang gadis sekeluarga, dan teman-teman sang gadis berkumpul dan menikmati makanan tersebut. Biasanya teman-teman sang bujang yang tak diundang berdatangan untuk turut serta dalam syukuran kecil-kecilan ini.

3.2. Pernikahan Adat Kedurang dan Tarian yang Mengiringinya

Dahulu pada pernikahan masyarakat Kedurang, sangat banyak tradisi yang harus dijalani dalam acara pernikahan. Namun sekarang sudah banyak yang dikurangi dikarenakan banyak memakan biaya dan mungkin kurang efisien..

Pernikahan orang Kedurang pertama dilakukan dengan tahap, yaitu :

1. Lamaran

Lamaran menurut tradisi Kedurang adalah diawali oleh calon pengantin pria yang dating ke rumah perempuan yang ingin ia nikahi. Tradisi pria ke rumah wanita ini denamakan “berasan”.

Pria tersebut menemui ibu sang gadis, mengatakan bahwa ia ingin berumah tangga dengan anak gadisnya. Setelah itu ibu sang gadis memberitahu kepada suaminya atau bapak sang gadis tentang keinginan sang bujang. Apabila disetujui oleh bapak sang gadis, ibu sang gadis mengatakannya kepada sang bujang bahwa orang tua sang gadis menyetujui hubungan anaknya dengan sang bujang untuk berumah tangga. Setelah itu sang bujang memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya untuk melamar sang gadis.

Sang bujang mengatakan kepada bapaknya untuk melamarkan gadis yang ia sukai tersebut kerumah sang gadis. Dalam hal berasan kali ini, sang bujang pergi bersama orang tuanya dan membawa dua orang laki-laki yang dituakan (nuei) kerumah sang gadis.

Dalam berasan untuk melamar sang gadis ini, orang tua sang gadis mengajukan syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh sang bujang. Bersan ini juga menentukan berapa uang yang harus dibawa sebagai mahar sang bujang dan tanggal pernikahan. Dan peran laki-laki yang dituakan sebagai saksi dan penasihat atau dalam bahasa pasemah disebut nuei(menuai) proses berasan tersebut dalam berasan yang dilakukan dirumah sang gadis.

Setelah dicapai kesepakatan dalam berasan oleh kedua pihak, maka dapat ditentukan kapan waktu pelaksanaan pernikahan antara sang bujang dan sang gadis. Waktu pernikahan biasanya tidak lama (paling lama biasanya dua bulan) dari waktu lamaran sekaligus pertunangan yang telah dilakukan tersebut diatas.

2. Pernikahan

Dalam hal pernikahan adat Kedurang atau pasemah, dapat dikatakan meiliki nanyak syarat yang harus dipenuhi, terutama dari pihak laki-laki. Dari segi biaya pun dapat dikatakan habis-habisan.

Pada saat ini adat pernikahan yang asli di Kedurang sudah sangat jarang dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan memakan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah setempat pun mengimbau untuk tidak melakukan masak lemang, karena dalam adat pernikahan Kedurang yang asli lemang dibuat dalam jumlah ribuan batang.

a. Syarat yang harus di penuhi pria

Setelah didapati kesepakatan waktu pelaksanaanya pernikahan, maka calon pengantin pria harus menyiapkan syarat-syarat pernikahan.

Pertama adalah lemang. Calon pengantin pria harus menyiapkan lemang sebanyak enam puluh batang lemang. Lemang adalah ketan yang dicampur dengan santan dan diberi sedikit garam yang dimasukkan kedalam batang bambo. Biasanya bambu yang digunakan untuk diisi lemang sepanjang satu ruas.

Enam puluh lemang yang disiapkan oleh calon pengantin pria terdiri dari :

1. Dua puluh batang lemang Kampek Agung

Dua puluh lima batang lemang Kampek Agung ini disiapkan calon pengantin pria untuk diberikan ke pihak calon pengantin wanita.

2. Lima belas batang lemang Kampek Pengantin

Lima belas batang lemang Kampek Pengantin ini juga disiapkan calon pengantin pria untuk diberikan ke pihak calon pengantin wanita.

3. Sepuluh batang lemang Besanggul

Sepuluh batang lemang Besanggul ini adalah batang lemang yang diberi sanggul yang dibuat dari daun pisang. Sepuluh batang lemang Besanggul ini disiapkan calon pengantin pria untuk kepala desa.

4. Sepuluh lemang Besanggul

Sepuluh lemang Besanggul ini disiapkan oleh calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita.

Setelah syarat lemang dipenuhi oleh pihak calon pengantin pria, merekapun harus menginap satu malam di rumah calon penmgantin wanita. Dalam hal ini pihak calon pengantin pria tidak seorang diri menginap di rumah calon pengantin wanita. Yang harus menginap di rumah calon pengantin wanita dari calon pengantin pria adalah

1. Bapak calon pengantin pria

2. Ibu calon pengantin pria

3. Wakil bapak calon pengantin pria yang terdiri dari satu orang

4. Satu orang kawan bujang atau teman calon pengantin pria

5. Satu orang Gadis Petandang yaitu penjemput pengantin wanita

6. Satu orang kerbai petandang

b. Syarat calon pengantin wanita

Tidak hanya calon pengantin pria yang melakukan syarat pernikahan, namun calon pengantin wanita juga harus melakukan beberapa syarat. Perempuan masyarakat pasemah sebelum menikah harus memotong giginya. Memotong gigi di sini bukan berarti menghabiskan gigi untuk di potong, namun hanya diratakan saja agar permukaan gigi sama rata.

Dalam bahasa pasemah adat memotong gigi yang dilakukan oleh calon pengantin wanita adalah “bedabung”. Tradisi ini sekarang sudah sangat jarang dilakukan karena tidak semua wanita menyukainya. Menurut informasi yang penulis peroleh dari narasumber yaitu nenek penulis sendiri mengatakan bahwa tradisi ini berlaku di jaman ibunya dulu, atau pada jaman nenek buyut penulis, dalam bahasa pasemah disebut “nenek puyang”.

Proses meratakan gigi (bedabung) dulu, orang pasemah menggunakan putik kembang papaya atau putik “sangsile” dalam bahasa pasemah. Putik ”sangsile” dibakar terlebih dahulu, kemudian dalam keadaan masih panas tersebut calon pengantin wanita yang akan melakukan tradisis “bedabung” menggigit putik kembang papaya tersebut. Tujuannya adalah untuk melunakkan gigi yang akan diratakan. Setelah beberapa saat digigit kembang papaya tersebut dibuang dan gigi siap untuk diratakan. Untuk meratakan gigi yang telah lunak tersebut, orang dulu menggunakan kikir yang biasa digunakan untuk mempertajam gergaji. Setelah rata barulah calon pengantin wanita tersebut boleh melakukan pernikahan. Tujuan dari meratakan gigi ini agar calon mempelai wanita tersebut terlihat cantik, dan bila tersenyum nampaklah gigi yang bagus sama rata.

Syarat yang mesti dilakukan oleh calon pengantin wanita tidak sebanyak yang harus dilakukan oleh calon pengantin pria. Setelah melakukan syarat “bedabung" calon mempelai wanita tidak melakukan syarat lagi kecuali menginap dirumah suaminya setelah acara pernikahan.

Seperti pengantin pria, pengantin wanita juga membawa anggota dari pihaknya untuk menginap di rumah suaminya yaitu :

1. Membawa Gadis Petandang dua orang

2. Ibu pengantin wanita

3. Satu orang kerbai petandang

3.3. Pesta pernikahan

Pernikahan identik dengan pesta, makan-makan, dan undangan. Pada jaman sekarang apabila ada suatu pernikahan, mengajak orang untuk hadir dalam pesta pernikahan dengan menggunakan kartu undangan. Namun tidak pada jaman dulu, di adat Kedurang memanggil semua undangan dengan cara mendatangi orang yang akan diundang dalam bahasa Pasemah disebut “dijeghumi”. Orang yang dijeghumi tersebut diminta untuk datang sewaktu pesta, dan membantu memasak untuk kebutuhan pesta pernikahan. Yang menjeghumi orang-orang tersebut tidak mesti orang tua pengantin, namun bisa juga diwakilkan dengan orang yang disuruh oleh tuan rumah.

Dalam bahasa Pasemah pembicaraan penjeghum dan undangan (ye dijeghumi) sewaktu menjeghumi seseorang dapat dicontohkan sebagai berikut :

Penjeghum : “Assalamualaikum”

Undangan : “Waalaikum salam, ngape Ding?”(Waalaikumsalam. Kenapa dik?)

Penjeghum : “Jadi luk ini wak, akuni diajung kah nga Bakcik Dalan ngajak kamu nak-beranak keghumahe. Dia kah nikahka anake ye bungsu tanggal 10 bulan tige ni kele. Jadi die mintak tolong di tukuki wak”(Jadi begini Om, saya ini di suruh oleh Om Dalan mengajak anda sekeluarga untuk kerumahnya, karena dia akan menikahkan anaknya yang bungsu pada tanggal 10 Maret nanti, jadi dia minta tolong untuk dibantu mempersiapkan acara pernikahan tersebut).

Undangan : “au ame luk itu, insya Allah ka ku tukuki Ding...”(Ya kalo begitu, Insya Allah akan saya bantu)

Setelah semua undangan di beritahu (dijeghumi) maka tradisi selanjutnya adalah membagikan lemang kepada warga desa. Tradisi membagikan lemang ini dilakukan oleh tuan rumah acara pernikahan. Sebatang lemang dipotong kecil-kecil secara menyamping atau meneyeron. Tiap satu rumah warga desa diberi sepotong. Pembagian potongan lemang ini dilakukan di sore hari. Maksud dari pembagian lemang ini untuk mengingatkan bahwa pengantin telah tiba dan acara pernikahan akan dilangsungkan besok pagi. Menurut adatnya bagi yang mendapatkan potongan lemang, mereka wajib membawa nasi satu bungkus yang dibungkus dengan daun, gulai atau lauk pauk, dan kue.

Orang yang dimintai bantuan dalam acara pernikahan disebut “penjeghum”. Para penjegum khususnya kerbai atau ibu-ibu seminggu sebelu haru H telah meracik bumbu-bumbu yang akan digunakan untuk memasak gulai pada acara pernikahan.masyarakat Kedurang khususnya yang mampu biasa memotong hewan ternak mereka berupa kerbau atau sapi. Dan kaum bapak-bapak membuat tenda untuk memasak dan mendirikan panggung untuk acara pernikahan.

Pada saat pemotongan hewan ternak sapi atau kerbau, dilakukan tarian untuk memotong hewan tersebut. Tarian ini dilakukan oleh tujuh orang pria dari pihak pengantin pria dan tujuh orang wanita pula dari pengantin wanita.

Hewan yang akan disembelih tersebut “dibuteka” atau dibutakan terlebih dahulu. Maksud dari membutakan kerbau atau sapi adalah untuk menutup mata hewan tersebut saja, bukan membutakan yang sebenarnya. Membutakan hewan yang akan disembelih tersebut dengan cara menutup kedua matanya dengan tanah kemudian matanya diikat tutup dengan kain. Tujuannya agar hewan tersebut tidak memberontak.

Setelah kedua mata hewan tersebut “dibuteka” penari melempari hewan tersebut dengan lidi kelapa solah menombak hewan buruan. Stelah itu barulah hewan tersebut di sembelih. Cara menyembelihnya pun menggunakan cara khas. Hewan yang akan disembelihkan ditumbangkan dan menghadap kiblat, setelah itu disembelih oleh seorang yang biasa menyembelih hewan dengan menggunakan parang. Setelah leher hewan disembelih, parang yang dihunakan untuk menyembelih ditancapkan di tanah dekat dengan leher hewan yang telah disembelih. Posisi parang harus di depan leher yang telah teluka karena disembelih tadi dengan posisi mata parang menghadap keleher hewan tersebut. Kepercayaan mereka agar parang tersebut tetap tajam bila digunakan untuk menyembelih.

Pada hari H acara pernikahan semua telah siap. Dan acara pernikahan adat siap untuk dilaksanakan. Pengantin pria dan rombongannya yang datang dari rumah pihak pengantin pria harus berjalan kurang lebih seratus meter dari tempat pengantin wanita.

Sewaktu rombongan pengantin tiba di depan rumah pengantin wanita, pengantin pria disambut dengan tarian siwar.

Gambar 3

Tari Siwar

Gambar 4

Pengantin Adat Kedurang

Dengan diiringi keluarganya pengantin pria dan juga juru pantun mereka memasuki rumah pengantin wanita. Sebelum masuk rumah pengantin wanita, juru pantun dari pihak pria berbalas pantun atau bedendang dengan juru pantun dari pihak wanita. Juru pantun dari pihak pihak pengantin pria harus dapat meminta izin untuk diperkenankan masuk oleh keluarga pengantin wanita dengan berbalas pantun atau bedendang.

Gambar 5

Ngarak Pengantin

Setelah diperkenankan masuk oleh pihak keluarga pengantin wanita barulah keluarga pengantin wanita boleh masuk. Mereka dijamu terlebih dahulu dengan minuman dan makanan ringan. Kemudian acara ijab-qabul dilaksanakan.

Pada hari pesta pernikahan para undangan yang baru datang dijamu dengan cara “makan luagh” yaitu para tamu di persilahkan makan ke rumah-rumah yang telah ditunjuk oleh tuan rumah pesta untuk meneyediakan tempat untuk para tamu makan pagi. Rumah yang digunakan untuk makan luagh terdiri dari beberapa rumah di dekat rumah empunya pesta pernikahan. Makanan yang ada di rumah untuk makan luagh disediakan dari tuan rumah yang mengadakan pesta pernikahan.

Antara undangan pria dan wanita dibedakan tempat makannya. Misal kaum ibu makan di rumah si A, maka kaum bapak makan di rumah si B. Makan luagh dimaksudkan karena para tamu undangan umumnya datang dari jauh. Kemungkinan mereka lapar dan belum sarapan pagi, maka tuan rumah pesta menyediakan makan pagi.

Makan luagh ini dilaksanakasn sekitar pukul delapan pagi. Tamu undangan yang baru datang dipersilahkan duduk terlebih dahulu di tempat pesta kemudian panitia pesta menyuruh tamu undangan untuk makan dirumah yang telah ditentukan. Pada siang harinya, para tamu undangan dipersilahkan lagi makan pada pukul satu siang atau setelah dhur.

Ini adalah gambar pengantin adat pasemah yang asli pada jaman dulu

Gambar 6

Pengantin adat Pasemah

Bab 4

Pakaian Adat

4.1. Pakaian Adat Kedurang

Setiap suku bangsa tentunya memiliki pakaian adat masing-masing. Begitu juga dengan Kedurang dan Suku Pasemah. Pakaian adat Kedurang bagi sekarang sudah jarang dikenakan oleh masyarakat Kedurang sehari-hari.

Pakaian adat Kedurang bagi perempuan adalah kebaya. Memang kebaya dipakai sebagai pakaian adat nasional. Kebaya dulunya digunakan di jaman nenek penulis masih remaja. Mereka memakainya dalam kehidupan sehari-hari, seperti pergi kepasar mereka memakai kebaya.

Bagi kaum laki-laki, pakaian adatnya adalah kemeja dengan jas, celana panjang menggunakan sarung sampai ke lutut. Pakaian adat bagi kaum pria ini tidak seperti pakaian adat yang dipakai kaum perempuan pada sehari-hari namun pakaian adat untuk laki-laki ini dipakai untuk acara-acara penting seperti pernikahan, atau syukuran.

Untuk pakaian adat pernikahan, pakaian adat Kedurang untuk pernikahan terbuat dari bahan beludru berwarna merah. Baik pengantin adat pria dan wanita menggunakan pakaian adat yang berbahan beludru ini.

Untuk kaum pria, pakaian adatnya memakai songket yang pakai seperti sarung, dang memakai pakaian pengantin yang berbahan beludru merah. Pakaian ini juga di lengkapi aksesoris berupa manik-manik seperti uang logam berwarna emas. Dan pada bagian kepala menggunakan semacam mahkota yang tebuat dari beludru merah dan dengan aksesoris seperi pakaian yang dikenakan, yaitu manik-manik seperti uang logam berwarna emas, menggunakan kalung emas berupa tanduk kerbau. Makna dari pakaian adat ini adalah sebagai keagungan dan lambang kemakmuran.

Begitu juga dengan pakaian adat pernikahan untuk kaum wanita, menggunakan bahan beludru merah, namun aksesorisnya lebih banyak dari kaum pria. Di bagian dada menggunakan lapisan lagi yang terbuat dari bahan beludru merah yang berbentuk seperti samir pada pakaian wisuda mahasiswa. Pada bagian ini banyak diletakkan aksesoris keemasan, menggunakan kalung emas seperti tanduk kerbau. Pada bagian kepala, menggunakan mahkota yang disebut “singal”. Singal ini dilengkapi dengan semacam konde-konde emas. Maknanya juga sama yaitu sebagai keagungan dan kemakmuran.

4.2. Songket Pasemah

Bagi peminat terutama para kolektor kain tradisional, mungkin tidak ada salahnya melirik hasil tenunan Besemah ini. Hanya saja perlu diingat, isi kocek harus disiapkan lebih dulu karena harganya tidaklah murah. Paling murah sekitar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Bahkan, songket yang usianya sudah di atas 100 tahun harganya malah dikabarkan bisa-bisa mencapai Rp 30 juta sampai Rp 50 jutaan.

Namun, agaknya sebelum telanjur bersusah payah berburu songket Besemah ini, sebaiknya niat Anda diurungkan saja. Sebab, mencari songket atau tenunan khas Besemah yang asli saat ini barangkali mirip dengan peribahasa: "meminta sisik ke belut", sesuatu yang memang sangat amat mustahil. "Keinginan memiliki songket Besemah sekarang, tidak ubahnya kita seperti mengkhayal. Sebab, kain tenunan ini memang ada harga tapi dide bedie barange (maksudnya, tidak ada barangnya). Jadi, yang ada selama ini cuma sekadar harga dimulut saja," jelas Djazuli Kuris, Walikota Pagar Alam.

Djazuli melukiskan, generasi terakhir yang masih sempat memakai tenun khas Besemah, barangkali adalah orang-orang Besemah seusia dirinya. Setelah itu, generasi berikut, jangankan sempat memakai, melihatnya saja mungkin tidak pernah. "Mungkin hanya yang seusia sayalah yang terakhir memakainya untuk acara adat. Karena, ketika jadi pengantin sekitar akhir 1970-an, songket yang dikenakan waktu itu sudah hampir lapuk," ujar Walikota yang asli Besemah ini.

Budayawan Besemah, Mohammad Saman, mengakui, pada periode 1960-1970-an, beberapa keluarga batik di Besemah sebetulnya masih menyimpan songket-songket khas tenunan tangan ini. Bahkan, beberapa tahun kemudian pun masih banyak yang punya. Namun, itu dipastikan sudah lenyap, selain memang dimakan usia, juga sengaja dijual kepada kolektor dan para pemburu barang antik yang sudah "menyerbu" Tanah Besemah sejak tiga dasawarsa lalu."Dari dulu memang belum terpikir oleh masyarakat, songket Besemah merupakan salah satu aset yang bernilai tinggi. Oleh karena itu pula, barangkali tidak seorang pun generasi sekarang yang bisa mewarisi keterampilan menenun seperti tetua-tetua dulu. Sehingga, wajar saja kalau kain tenun Besemah cuma tinggal nama," katanya.

ISYARAT bakal lenyapnya songket Besemah, sebetulnya sudah terbaca ketika memasuki dekade 1930-an. Menurut Gathmyr Senen, seorang pekerja seni di Palembang, berdasarkan beberapa literatur ternyata pada saat itu sudah terjadi stagnasi dari orang-orang Besemah yang terampil menenun. Pada saat itu, sudah sangat jarang generasi berikut di Tanah Besemah yang terampil menenun.Stagnasi ini bisa jadi karena saat itu situasi dan kondisi di Tanah Besemah memang tidak menguntungkan. Ini dipicu oleh kebijakan kolonial Belanda yang mulai "mengacak-acak" sistem pemerintahan dan kekerabatan Besemah.

Peran Kepala-kepala Sumbai (suku) di Besemah, bahkan saat itu dilikuidasi Belanda diganti sistem pemerintahan versi mereka.Situasi demikian, diperkirakan berpengaruh besar terhadap tatanan dan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat. Salah satu dampaknya adalah terputusnya pewarisan seni tenun kepada generasi berikutnya.Menurut keterangan, sejak tahun 1940-an itu, sebetulnya kain tenun Besemah sudah mulai berkurang di peredaran. Ini memang sulit dihindari, karena saat itu sebagian besar orang asing misalnya dari Belanda dan Inggris, mulai berebutan membawa songket ini ke negaranya. Sejak itu hampir sepanjang tahun banyak orang yang berburu kain songket ke berbagai pelosok Pasemah.Bahkan, puncaknya terjadi sekitar tahun 1970, ketika para pedagang barang antik menjadikan Tanah Besemah sebagai idola. Mereka berdatangan dari Jakarta, Padang, Lampung, Medan, dan beberapa daerah yang memang menjadi bursa barang-barang kuno tersebut."Pada saat itu, desa-desa di Besemah memang diramaikan para pemburu barang kuno.

Mereka membeli apa saja, mulai songket, piring antik, ukiran, sampai beragam peninggalan yang berbau Besemah. Harganya jangan ditanya, kadang-kadang hanya sekadar ditukar dengan pakaian, piring model baru, radio, dan lain-lain. Karena tidak terbayangkan suatu hari nilainya begitu tinggi, ya saat itu masyarakat mau saja menjualnya. Apalagi, barang yang ditawarkan sebagai barter memang dibutuhkan saat itu," kata Hajjah Manuyah (103), tetua warga Desa Plang Kenidai (Pagar Alam), yang mengaku masih menyimpan beberapa lembar kain tenun Besemah ini.

KAIN tenun Besemah atau seringkali disebut Perelung atau kain Pelung, menurut Gathmyr Senen, memang khas dan sangat unik. Kekhasan itu tidak saja dalam bentuk fisik, namun juga khas dari sisi teknis penenunan di mana sejak awal sampai berwujud kain sepenuhnya dirangkai tangan-tangan perempuan Pasemah tempo dulu.Bahan dasar songket ini 100 persen menggunakan benang emas. Bandingkan dengan songket Palembang atau songket Silungkang (Sumbar) yang hanya menggunakan sebagian kecil benang emas. Motifnya kebanyakan garis patah, sangat berbeda dengan songket Palembang yang sebagian besar motifnya lengkung-lengkung dan patah.Kain Besemah kebanyakan dipakai untuk acara-acara adat, misalnya, pesta adat perkawinan dan perhelatan besar para keluarga batih.

Kekhasan songket Pasemah ini juga tergambar dari tata cara pemakaiannya."Kain adat Besemah itu tidak bisa dipakai sembarangan. Songket ini dikenakan dari dada sampai lutut. Jadi, aturan adatnya memang demikian," jelas Gathmyr Senen.Betapa tingginya nilai-nilai seni dan budaya yang menyertai songket Besemah. Akankah salah satu aset Besemah ini bisa bangkit kembali di masa datang?"Menurut saya memang mustahil dan terlalu berat untuk diwujudkan kembali. Selain bahan baku, benang emasnya sudah tidak ada lagi di pasar, warga yang mewarisi keterampilan menenun juga tidak ada lagi," tambah Gathmyr.Rasa pesimis ini memang sangat wajar. Sebab, untuk menenun songket Besemah butuh sentuhan halus dan seni tangan tersendiri. Karena tenun tangan, maka perlu tukang cukit, yakni orang yang ahli mengatur motif khusus benang emas sebelum ditenun.

Tukang cukit inilah yang sekarang tidak ada lagi. "Kalau tukang tenun, siapa pun bisa asal dilatih. Tapi, kalau tukang cukit ini yang susah karena tidak ada lagi orang yang menguasai itu," katanya.Jika memang seperti itu kenyataannya, berarti songket Besemah kini tampaknya memang sudah terkubur. Ini menyedihkan sekali. Dan tidak perlu kaget, jika suatu hari nanti anak cucu orang Besemah sudah tidak pernah tahu, di tanah tumpah darahnya pernah ada hasil karya yang bernilai tinggi.Kita pun sekarang tidak perlu kaget. Jika pemandu wisata dan para pemilik toko suvenir di Ubud, Bali, justru lebih tahu dengan kain songket Besemah. Begitu pula, tidaklah aneh kalau berbagai literatur Besemah tentang songket dan ukiran Besemah kini bertebaran di mancanegara.

Gambar 7

Songket Pasemah

Bab 5

Hukum Adat

Hukum Adat Kedurang

Dalam adat Kedurang, juga terdapat hukum adat. Hukum ini bersifat mutlak bagi yang melanggarnya. Hukum adat yang terdapat di daerah Kedurang salah satunya adalah hukuman bagi pasangan yang melakukan perzinahan. Hukuman yang harus ditanggung oleh pelaku perzinahan adalah memotong seekor kambing.

Apabila terdapat seorang perempuan dan seorang laki-laki melakukan hubungan diluar nikah, atau perzinahan dan diketahui oleh warga, maka mereka akan dikenakan denda berupa seekor kambing. Kambing yang mereka sediakan tersebut, akan disembelih oleh para tetua desa. Bisa dikatakan sebagai nenek-nenek atau kakek-kakek yang ada di suatu dusun tempat sepasang pemuda yang melakukan hubungan perzinahan. Kambing tersebut disembelih di tempat yang terdapat di pinggir desa tersebut. Setelah para tetua menyembelih kambing tersebut dan dimasak oleh para tetua perempuan atau nenek-nenek. Setelah masak, kambing yang dimasak berupa gulai, atau sebagainya dimakan oleh para tetua tersebut.

Bab 6

Sastra

6.1. Bahasa Kedurang

Bahasa Kedurang sama dengan bahasa Pasemah yaitu berdialek “e”. Berbeda dengan suku serawai yang berdialek “o” dan “aw”. Bahasa yang tampak membedakan dengan suku serawai seperti : dide yang berarti tidak, dalam bahasa serawai nido atau nidaw. Dalam dialek Kedurang, huruf “R” sering diucapkan dengan “Ngh”. Seperti nghungau atau begadang bila disebutkan dalam bahasa Indonesia disebutkan rungau. Dibawah ini ada beberapa contoh kata dalam bahasa Kedurang :

Kemane = kemana

Luk ape = bagaimana

Sekul = sekolah

Taghuk = sayur

Gulai = lauk

Di mane = di mana

Kereh = capai

Kudai = nanti dulu

Ketam = kepiting

Setue = harimau

Dangau = pondok

Daghat = kebun

Kawe = tanaman kopi

Sangsile = pepaya

Tanci = uang

Sinampur = hampir

Benase = bersumpah

Karut = jelek

Alap = bagus

Pinggan = piring

Gerpu = pisau

Stakin = kaos kaki

Blangkit = selimut

Bilik = kamar

Kidau = kiri

Rawang = air bah

Bene = pusing

Sigeret = rokok berfilter

Buluh = bambu

Liut = licin

Bunguk = gemuk

Gering = sakit

Balung = paha

Siwak = dekat dengan

Ghenyai = gerimis

Rajin = sering

Ngerayau = ngelayap

Maung = bau busuk

Mengut = sakit

Pekan = pasar

Betunak = menikah

Ghungau = begadang

Denga =kamu

Niur = kelapa

Ngeghugh = mendengkur

Jambat = jembatan

Kelawai = saudara perempuan

Muanai = saudara laki-laki

Endung = ibu

Bapang = ayah

Semang = malas

Lebok = kecil

Katah = banyak

Dai = muka

6.2. Sastra Lisan Betadut

Suku Pasemah seperti pada umumnya suku melayu, banyak terdapat pantun dan puisi-puisi. Namun ada juga sastra lisan yang digunakan oleh masyarakat Pasemah, seperti “betadut” yaitu tradisi dalam suasana berkabung. Betadut ini adalah sebuah tradisi dimana seseorang yang usianya lanjut atau tua yang menceritakan kisah hidup seseorang yang telah meninggal. Betadut dilakukan pada malam hari setelah jenazah orang yang diceritakan dalam tradisi betadut ini dimakamkan.

Orang yang melakukan tradisi ini juga harus orang yang benar-benar mengetahui jalan hidup orang yang telah meninggal tersebut. Orang yang betadut ini pun harus bisa bercerita, petadut ini berposisi menunduk sambil mengingat-ingat apa saja yang pernah dilakukan oleh orang yang telah meninggal tersebut. Ceritanya ini bisa sampai semalam suntuk, dan didengarkan oleh keluarga dan kerabat yang sedang berduka.

6.3. Huruf Ka-Ga-Nga

Tulisan ka-ga-nga pun ada di suku Pasemah dan Kedurang. Tulisan ini dulunya dituliskan di gelumpai atau bilah bambu berukuran dua sampai lima sentimeter dengan panjang satu ruas bambu tiga puluh sampai dengan lima puluh sentimeter. Sebuah naskah dapat tersusun dari teks yang mencapai belasan bahkan puluhan gelumpai. Berikut ini adalah contoh tulisan ka-ga-nga, namun tidak berupa gelumpai, karena penulis tidak diperkenankan melihat gelumpai yang asli.


Gambar 8

Huruf Kaganga

6.4. Pantun

Pantun Besambut (Gayung Besambut)

Di Kedurang terdapat satu jenis pantun yang disebut Pantun Besambut (Gayung Besambut) yaitu berbalas pantun dan Pantun Ratapan. Pantun-pantun yang terdapat didaerah ini menggunakan bahasa Pasemah Semende. Berikut ini terdapat beberapa contoh Pantun Besambut dan Pantun Ratapan yang bersal dari Kedurang.

Pantun Gayung Besambut :

NDAK TIDUK DIKBETIKAGH

DIK BEGUNE ADE BANTAL

DUDUKLAH SINI SAMBIL NYANDAGH

DIDE KAH NGAPE KITE LAH KENAL

KAH KEMANE BADAH TIDUK

LAGI TIKAGH DIKBEDIE

UDE KUDAI CACAK ILUK

NGAJAK SINGGAH LAGI DIKDE

Pantun Percintaan

KALU BEJALAN NGIRING GALAK NUMIT

NGAMBIN GALAS DIKBESEMBIKE

JANGAH MARAH BETANYE DIKIT

AKU NDAK BEKENALAN SAPE NAME

SALAH NIAN PEGHASEANKU

SATE KUKINAK DENGAH MENDAM

KALU NDAK PACAK NGA NAMEKU

AKU SENAME NGA BINI ADAM

PAILAH DUDUK TUNGGAL KERSI

NEGAHGHI CERITE JEME BAGHAGHI

KALU DENGAH GALAK KAH KUTEMUNI

KEMANE MIDANG KITE PAGI

PEGI BEJALAN KE TENAM BUNGKUK

SINGGAH DIAYIK KITE GHEGHADU

KATEKALAH KENDAK SAMBIL DUDUK

DIDE NDAK BINGUNG ATAU RAGU

DARI PELIMBANG KE BENGKULU

NAIK MUBIL GUNUNG INDAH

DINDAK BIMBANG ATAU RAGU

TUAPE DIJANJI TAHAN SUMPAH

EMBAK INI BANYAK BUDAK SEKULAH

KEBILE TAMAT IJASAH NEGERI

KALU LUM DAPAT TAHAN BESUMPAH

DAMI LAH DAPAT DIK TEGHINGAT AGI

AKU LAH UDIM NAIK PEDATI

SATE BEJALAN NGUNJAK-NGUNJAK

KANYE DIKIT AKU TEBUDI

LAIN DIKATE LAIN DISURAT

KABARNYE DENGAH ADE MUTUR

KITE MIDANG CUGHUP TENANG

PETANG KELE AKU KAH NGATUR

KALU DIAJUNG ENDUNG NGAH BAPANG


AGHI MALAM BALIK KE GHUMAH

NGAMBIK AYIK ADE SEIMBIR

KAH MAK MANE ACAKAN DENGAH

NGAPE DUNIE LAH NDIK BEPINGGIR

KALU DENGAH DIKPERCAYE

SATE TUGHUN KE DUNIE LAH BEJANJI

AMU BUKAN RIBANGKAH DENGAH

KAHKUTAHANKAH NDIK BEBINI

Pantun Memotong Padi

PADILAH KUNING NGAMBIK JEMUWAN

ADE SELANJUNG TEKE TANGKAINYE

NANAK SEPEGHIUK NGAJAK PANTAWAN

MAKAN PADI EMPAI ITU NAMENYE

PADI LAH KUNING DILIRING BUKIT

NGETAM BANYAK MAKAN TUAI

EMPUK DIMAK TAHANKAH DIKIT

KEBILE AGUNG DIK BETEMBAI

SAPE YE DIMAK DITULUNG

SAWAH LIBAGH PADI BEGHENAS

SAMBIL NGETAM KITE BEREJUNG

DIKDE TEGHASE AGHI PANAS

KALU KAH NGETAM KEBILE NEMBAI

DIMANE KINAH AKU GALAK

AKU NAK NUMPANG MAKAN PADI EMPAI

SAMBIL NULUNG SAMBIL BERAYAK

MASAK LEMANG ADE SEBARIS

KAH NDIK MAKANAN BEBIE NGETAM

EMPUK PAYAH DIDE NAK NANGIS

SEMANG BALIK KITE TEMALAM

LEMAK NIAN NGETAM BEBIE

DIDE BE PAYAH GI RIBANG TULAH

DIKBETUE APELAGI MUDE

KECIK BESAK TUGHUN KE SAWAH

AMBIK TUAI DALAM GHUNTUNG

SE SE LANGGUM MASUK BEGHUNANG

AMBIN SELANJUNG UDIM DIGUNGGUNG

MASUKKAH PADI DALAM TENGKIANG

PADI BANYAK ADE SELANJUNG

PADI PULUT KAH NDIK JUADAH

SAMBIL NGETAM KITE BEREJUNG

GHEGHADU DIKIT UBAT PAYAH

AGHI PETANG KITE BALIK

NASI SE IBAT SE GHUAS GULAI

KEGHISKAH LEMANG DIWIK DIWIK

KITE LAH UDE MAKAN PADI EMPAI

MUSIM NGETAM KITE LAH UDE

RUGUK KAMPUH SAMPAI GALE

YE USURANNYE DIENJUK SEBAKE

ITU ADAT JEME SEMENDE

ALANGKAH SEMANGAI UDE NGETAM

PADI ADE TAGULAI KATAH

DIDE MALU MERAHE TEMALAM

ADE TETAMU KITE NJUADAH

TUNGGU TUBANG LAMBANG KITE

ANAK BETING NUNGGU GHUMAH

SAWAH NGA KEBUN DIURUS GALE

BADAH KEBALIK AN RUGUK KAMPUH

NEMBAI NGETAM MAKAN SERABI

DI ENJUK MANIS TEBU MANAU

ILUK ILUK NYIMPAN PADI

DANDANAN IMPANI BATAK KE DANGAU

JANGAH LINGAH SIANG MALAM

INGUNAN PIARE KAH NDIK GULAI

SEGALE GAWI NGGUK UDE NGETAM

KITE TUNGGUI AGUK AN JURAI

AGHUMAN JANGAH DITUNGGALKAH

TENGKIANG PENUH SAMPAI KE ATAP

NGETAM LUM UDIM GHULIHAN KATAH

SEKAT TEBAYAR LAH CUKUP NISAP

NGETAM PARAK NGAH PEGHUMPANAN

PADI DIKETAM SE SE TANGKAI

SAPE KAH NULUNG BEGHAMBINAN

KAMI KAH NULUNG NANAK NGAH NGGULAI


Pantun Ratapan

Ke kaduk andun besiang
Singgah ke talang membeli nangke
Mangke nduk ngeghase sayang
Ngguk reringge di palak tangge

Kalu ke kebun naik kerite
Jangan lagi bejalan kaki
Kalu di dusun dibenci jeme
Belaghi kiya dik balik agi

Ke kaduk andung besiang
Singgah ke talang membeli kain
Lagi nduk lagi dik sayang
Mandani pule jeme lain

Kalu ndak nginak kalangan kami
Kina’i kalangan di pucuk jukuh
Amu ndak nginak malangan kami
Kina’i ujan campur guruh

Anak elang anak lelayang
Anak berebah terbang tinggi
Adak hilang adak melayang
Adak bejalan dik balik lagi

Nduk-nduk belalang panduk
Singgah ke kubang kekeringan
Alangkah sial si anak nduk
Bejalan sunghang
die besedingan

Selame dik nanak minyak
Buah kepayang belah-belah
Selame dik paling kinak
Nginaki bebayang ase nyelah

Mbak mane ndak gulih padi
Sawah tanjungan gajah gale
Mbak mane rasan ndak njadi
Jurai mah dengah negah gale

Alangkah pedih lukeku ini
Balut nggah kain mangke dik kuyak
Alangkah sedih idupku ini
Idup melain ndi
k jeme banyak

Lah diketawi jalannye licin
Menga
e adik lah bekerita
Akuni
karut lagi miskin
Kenapa adik lah jatuh cinta

Betaghik kayu diambik
Dib
tak tughun lah belah due
Kecik ati nggi sape ngambik
Batak’an tughun keduninye

Alangkah iluk si manau itu
Iluk diambik ndik bingkai rungkuk
Alangkah iluk si budak itu
Iluk diambik ndik nantu nduk

Petang-petang silaplah lampu
Lampu tekedan di pucuk meja
Petang-petang kemane aku
Idupni numpang selalu susah

Bedepas memancung buluh
Buluh berisi lah ular lidi
Kalu adinda berkate sungguh
Di dalam laut kah kutimpasi

Cak ciluk ikan kerali
Sipat melanting lah ke pematang
Cacak iluk amu di dai
Kelam seliku lah nuduh bapang


Alangkah mahal buah kuingi
Waktu digutuk umban meberaibai
Alangkah sial nasibku ini
Idup di duninye dik pernah senai

Amu dindak nggah seghai seghut
Ambiklah seghai di lembak siring
Amu dindak nggah kami karut
Cakelah jeme ye putih kuning

6.5. Cerpen berbahasa Pasemah

“Merajeku jeme gerut”

Makkk….mamang balik, die dang di Simpang Mio, (aku belari menyongsong Umak dang nyuci baju di bak belakang). Dimane dengah pacak…kate umakku sambil bergegas ngudimkah cucian pakaian. Kate mubil Drun, die tadi betemu di simpang Mio dang moto-moto ayik terjun Cughup Tenang. “Nah, ame mbak itu nak besiap. Lah pacak makwo dengah? Lum tau, aku tadi dang main geling, di jalan betemu mubil drun ngenjuk tau kalu mamang lah balik. Njuk tau kudai, pegilah. katekah nga makwo mamang dang di jalan, siapkalah nasi angat, ambiklah ikan mas di pauk tu. Kele umak berayak ke sane nyiapkah ramuan gulainye, Au…mak (tanpa basa-basi langkah seribu menuju rumah makwo).

Tok…tok…tok…. Asalamualaikum… wo.. makwooo……. makwooo (terdengar suara derit lantai papan yang sudah seumur dengan presiden pertama AS, menuju pintu) Walaikum salam,… sape titu….?? Madyan Wo…Madyannnn..(sambil nunggu pintu dibuka, kuase-asei geling di kucikan celane, sambil temenung dengat…?dik ape-apelah fikirku, melepas tanganku dari kucikan celane), sambil nafas naik tughun, kuomongke pesan umak dengan makwo mangke die besiap, mamang kah datang dari Jakarta, sekarang masih di jalan. Satelah dengagh ceriteku, makwo langsung besiap-siap, merapikah rumah dan sekaligus nanak nasi dengan jumlah lebih dari biasenye ndik rumbungan mamang yang nak datang.

Udim ke rumah makwo, aku belghi ke lapangan parak ghumah pangeran di bawah batang ghukam, disane kance-kanceku lah nunggu, ngajak main geling lagi. Dasar nasib sial, geling-geling sepokok dengan Apri yang kami dapat dengan susah payah melanting gale dalam tebat, waktu aku belari nyampaikah pesan Umak. Akhirnye aku dikde di ajak lagi maen geling malah kene dende due kali lipat dari geling yang kulengitkah tadi. Anye sekali ini aku dik nyesal, karne aku teringat mamang hari ini balik, luk biasanye kalu die balik die selalu menyempatkah ngenjuk duit ndik pona’an-pona’an nye di dusun (momen inilah yang selalu kutunggu-tunggu) mbakitulah luk aghi ni, aku fikir dengan mudah kugenti geling-geling yang kulengitkah tadi karne aku dapat jatah dari mamang kele, aku tersenyum mikirkah berapa ribu duit kah dienjuk mamang nga aku. Jadi selame beberape jam, aku menjadi penonton, nak maen dik bepokok lagi. Sedangkan utang geling harus dibalikkah paling lambat pagian pagi udim istirahat keluar main.

Menjelang dzuhur aku dan kance-kance mulai beranjak dari arena menuju rumah masing-masing. Dik luk aku, aku dik nuju ghumah melainkan ke rumah makwo. Dari kejauhan kinaan li ku ade due mobil sedan sikok warne hitam dan sikok lagi warne abang ati. Dalam benakku mobil mamang tini ni. Kuparak’i dan kubace mereknye same gale BMW. Alap pule mubil mamang ni dalam ati. Dasar dakecik dusun lum puas kalu lum natap, kutataplah kace spion mubil abang. Dik tau ngape ade bunyi sirene luk ambulan bebunyi bias kiamat. Tekanjat………tepucat daiku luk nasi basuh, merusak aku ni. Peghaseanku dik tekeruan agi, ase kah umban jantung.

Makmanelah ame rusak? kah makamane bakku nggentinye kele? aku terus befikir. Sedangkan sirene masih meraung-raung dikberenti-renti. Daripada aku nak nggentinye kele lemaklah aku belaghi saje (tanpa fikir panjang aku belaghi). Sate lah jauh, masih kuperatikah mubil tu, akhirnye berenti juge bunyinye, lege juge asenye. Awak masih takut-takut aku nuju ghumah makwo, anye dik berani lewat pintu depan, beghaninye lalu wah gaghang. Sesampainya di belakang kukinai banyak tetangge makwo, sepupuku, kulu kiligh mbasuh piring nga beres-beres bekas idangan.

Aku dik nginak umak di belakang, cuma ade tetangge nga sepupuku tulah dang begawi beres-beres. Aku langsung nuju bebar, kusingkapkah dikit nginak’i suasana dalam rumah. Disane kukina’i ade gale, umak, makwo, mamang nga bibik, wak’an, nga famili-famili lainnye. Ku kinai kambangan keluarge dang rangap negaghi cerite mamang, sambil sesekali tetawe ngera’kak, sesekali saling cintung umungan li kambangan kerbai sebelah nining bugagh. Ribang nian aku nginaknye, ku kinai pule parak duaghe ade jeme asing bagiku, mungkin ini pengawal sekalian supir pribadi mamang. Jemenye ganteng, gempal, ghumbak cepak gi mude. Matenye nganan ngiri ase kah neguk jeme bulat-bulat, geme ige aku nginaknye. Lum lame aku ngintip di duaghe, ade tetangge ngguil belakang ngajak makan. Karne lah ndi tadi nak makan, semangat nian aku nuju idangan ye lah disiapkah tetangge makwo.

Anye…….sate tekinak li ku, piring kosong, badah nasi, pembasuhan tangan, timun ditetak-tetak, ikan asin bulu ayam dikit, sambal caluk ade se sidu, terus nga semangkok gulai masam ancau nga iku’ ikan mas bekas kubitan jeme. Sekilas pemandangan ini mbuat aku mual, lengit gale selera makan, awak lah lapagh dengat agi sapean. Dasar dakecik, kutanyekah agi nga jeme yang ngidangkah nasi tadi. Mada’i giade gulai luk ini saje, uji umak tadi ikan mas ingunanku lah digulaikah, sambil merajuk. Tetangge makwo yang ghapat dipanggil Sri njelaskah seadenye saje. Inilah mbuat aku nak nangis, anye lum telebus. Laju sepupuku manggil umak yang lagi nengaghkah cerite mamang, dibisikkanye kalu aku dindak makan karne dik begulai agi. Umak laju pegi ke paun nemui aku.

Diumunginyelah aku tadi, diujuk-ujuknye, kalu ikan mas ingunanku tadi lah abis ndik njamu rombongan mamang, kele kah digentinye nga ikan kalang besak gulehan mbeli di kalangan minggu. Anye jangan nangis agi, sambil ngenjuk duit Rp. 50,- ndik mbeli geling. Dasar umak lah tau nian nga aku, kalu lah nangis dik begulai makan cengki die ngancei aku makan sambil nyuapi nasi ye lah dilamaikanye nga sambal campur ikan asin. Walhasil, hari itu cuma makan nasi sambal nga ikan asin saje, kuah asam acau dikdke dituleh agi, karne geme makannye bekas kubitan jeme gale.

Ude makan, masih ngindil-ngindil di paun sambil bediang, dikbeghani ke depan betemu rombongan mamang. Sambil bediang aku ngayal berape ribu lah mamang kele kah ngenjuk duit, tahun lalu enjuknye Rp.7500,- susukan mbeli rukuk Gi Pe, due tahun lalu Rp. 5000,- susukan mbeli kerupuk, tahun lalu, tahun lalu….. aku lah dik tingat agi. Sambil melamun diktaunye mamang lalu depan dai nak ke kamar mandi. Sambil basa basi berenti tepat di depanku bediang, nah Madya….?? …ngape dik ke depan betemu nga mamang…?? cukah sujud kudai nga mamang ni (sambil mengulurkan tangan, dan kusambut tangannye), maluan mang, jawabku malu-malu. Lah kelas berape, lah besak menagh, nga banyak agi pertanyaan tentangku. Aku jawab seadenye saje, dan beliau berlalu menuju kamar mandi.

Sate lah agak sepi, beguyur ke depan, tekinak li ku mamang dang sembahyang, tikagh-tikagh pughun lah digelar gale, ade selusin lebih cangkir kupi kosong disana sini, wak’an lah ngguling diranjang nenek ye bekelambu, mbakitulah pule kukinai sepupuku dang nuggit mberesi cangkir-cangkir nga asbak rokok yang dik tekeruan agi isinye kemane-mane. Kapuh tetangge ni kulu kiligh ade ye ngambik sendal ye bajik kanye dibelakang lemari, ade ye mbawe kuali besak nga dandang ndik nyighang ayik, pokoknye sedakde nye sibuk kiamat, ntah tuape gawi kanye ndik nyambut rombongan jeme balik ni tadi. Rupenye petang itu rombongan mamang lah istirahat gale, anak-anaknye nga supir ntah midang kemane keliling dusun, yang tinggal mamang, wak, nga bibik saje yang bejelintu’an tidu’ di kasur nga sarung bantal ye masih mbau toko. Jarang nian tekinak sehari-hari bende luk itu kalu dikde dalam lemari. Pokoknye sekali mamang balik segale baru, segale lemak, segale rapi dienjukkah gale.

Nduk, jeme ni lah istirahat gale, bejelintu’an, dimak pule aku nak mara’inye kalu dang mak ini (fikirku dalam ati). Lemaklah aku ke depan kiah, ngumpul nga kapuh dengasanak di gaghang depan. Di gaghang kudengaghi cerite dengasanak-dengasanak nga kelawai sebelah makwo, nceritekah mamang njadi jeme disegani, jeme bepangkat, sambil sesekali ngomong lunde tentang pangkat mamang. Walhasil gara-gara nengaghkah cerite dengasanak nilah aku mpai pacak kalu mamang tu Jendral bebintang due. Anye aku masih bingung ngape lah njadi Jendral awak bintangnye masih due, kate guruku di SD, Jenderal tu bintangnye ade empat bukan due luk mamang, anye dik beghani nanyekanye, ye penting Jendral, mpuk berape kinah bintangnye, aku nak luk die. Sambil duduk meghangkung nengaghi cerite aku ngayal aku lah njadi luk mamang, ade pangkatnye, bebaju warne ijang, besepatu licin ngecak’i tungkat alap. Sambil senyum-senyum dikit aku mbayangkah njadi luk mamang, ngecak’i senampang mesin luk di filem-filem Rambo. Saking kelema’an ngayal dik tau agi kalu rumbungan dengasanak lah dikde becerite agi. Aku beghangkat ndi duduk, teghase lah geghit gale betis karne lah lame ige duduk meghangkung. Dalam ati aku bangga nga mamang, aku nak njadi luk mamang ame lah besak kele.

Ai, balik kudai,…. anye sebelum balik aku teghingat nga bajik’an duit njuk’an umak Rp. 50,- ndik mbeli geling tadi. Duitnye kubajikah di pucuk lemari di paun parak badah bediang, karne badah duduk tadi lah njadi badah puntung, njadi kalu nak gambik duitnye harus naik’i lemari. Sambil nginak kanan-kiri, aku mulai naik lemari. Dasar lemari tue badah penyimpanan dik kuat agi penguncinye, ampir sampai nga badah duit tadi, dik taunye badahku bepaut tadi liut, laju tegerihul, duaghe lemari tenganga due-duenye. Kina’an gale isi lemari, ade gurengan ikan mas, ade sambal gureng, ade pule macam-mcam gulai baguk’ lah penuh li gulai. Nginak’i isi lemari tu, laju mbuat aku dikpecaye agi nga jeme dighumah ini. Mada’i aku dienjuk gulai sambal, ikan asin, nga sisa gulai jeme. Padahal dalam lemari masih banyak gulai lemak-lemak yang masih pacak dimakan. Dasar nian, makwo ni, umak ni, pengeghit nga aku, sedakde jeme ni jahat gale nga aku, ….karuuttttt gale nga makan….pengeghittttttttttttttttttttttttttt…..(aku nangis sambil belaghi ke ghumah, kutinggalkah bajik’an duit Rp. 50,- tadi).

Sampai di ghumah, aku langsung masuk kamar, disane aku nangis sejadi - jadinye, keting bekas licak dik kubasuh agi, langsung besaput. Sambil sedu’an teghingat gale nga gawi petang tadi, teghingat nga umak dik sayang agi, teghingat nga makwo dik luk kemaghi, ame aku midang badahnye selalu disiapkanye makanan lemak-lemak. Tuape kendak diepenuhinye gale, anye sate mamang lah balik dik bedie teghingat agi nga aku. Bak, kelawai, muanai lah kisit gale nemui mamang di ghumah makwo, ngumpul gale disane. Ase dindak idup agi, lemaklah mati kiah….!!!
Luk biasenye kalu dang merajuk atau kene marah aku selalu ngayal. Sekali ini aku ngayal kalu lah besak kele kah njadi jeme gerut nian. Kah mbeli mubil alap banyak-banyak, dikbedie jeme kah kuajak’i midang, kah kutinggalkah gale midang jauh. Umak, bak, nga sape kinah di ghumah ini dikbedie kuajak’i. Mangke jeme tau sape nian aku ni, ame jeme lah mintak ajak’i midang dikbedie kah kuajak. Sate lah udim ngayal biasenye aku senyum-senyum diwik, mbayangkah kalu aku lah njadi jeme gerut kele. Akhirnye aku tetiduk.

Lah udim sembayang ashar, tambah banyak rugu’ kampuh bedatangan, ade ye nak nengagh cerite saje, ade ye nak nawak’kah anaknye mangke diajak mamang, ade pule ye bebasa-basi katah kiamat, ujung-ujungnye nak mintak duit mbeli rukuk, mpuk sebungkus lagi jadilah. Ade pule ye nak numpang ngupi saje. Macam-macam nian kendaknye, sedakdenye dilayani li mamang. Mimang nian Mamang njadi panutan jeme dusun, banyak endung-endung kalu ngumungi anak-anaknye; “ iluk-iluklah belajagh.. rajin-rajinlah sekulah, mangke kele pacak luk mamangan Madya, Alex Oesman. Die tu njadi Jendral karne galak nengagh umungan jeme tue, galak belajagh, nga dikde banyak ige gawi luk dengah, ame dengah nak duit saje, nak main geling saje, diajung umak lagi dindak, makmane nian nak njadi Jenderal ”. Luk itulah pule mpuk umak nasihati aku, ame dengah dindak nengagh umungan, dik kuajung kabah milu mamang, urung njadi Jendral. Namenye dakecik SD, dang diumungi nengagh, nurut kate ndung, anye sate lah udim diumungi masih kinah nyalat, nenincit itulah gawinye.

Petang itu tunggu tubang pantawan, famili-famili parak ghumah, keluarge dekat sekaligus alim ulama diajak gale. Uji kah ade syukuran dikit, mbagu’kah anak mamang lah tamat sekulah AKMIL, sekaligus minta doa ruguk kampuh ndik anaknye ye tue kah nyambung S2 ke Inggris sane. Petang tu pokoknye semliwai kapuh kaum kerabat sibuk kulu kiligh nyiapkah aguk’ an. Mbak itulah pule kapuh umak nga Bak lah ndi sane gale mula’i siang tadi, mikut meramikah aguk’an. Dengasanak sughang yang dikde milu kghumah makwo, karne die dang ade gawi ngapalkah lagu “Serasan Sekundang” ndik pementasan lagu daerah di Pelimbang minggu depan, njadi die dikde mikut ke ghumah makwo.

Sangkup magrib cuguk tiduk, sate kina’an aghi lah akap. Datuk lah ngebang di masjid Akbar, waktu magrib lah nyampai ngajak kite sembahyang gale. Engkas licak lah keghing di betis luk peta pulau sumatera. Sambil kluagh kamar tekinak dengasanak lah bekain cete betuguk itam dang rukuk sembayang magrib. Bebar di kace nako lah di tutup rapi, lampu depan lah idup gale, suaghe sesiagh lah bebunyi dikberenti ngibur telinge siape kinah ye masih jengar. Mate masih ngantuk pepuguan mbukak duaghe sambil ngidupkah lampu PLN nak kayik mandi.

Sambil bekain anduk udim mandi langsung ke luan nanyekah Bak nga Umak. Dasar Kamaludin sibuk nga gawi nye sughang, die njawab’i aku seadenye saje. “Bak nga Umak dang di ghumah makwo, nulungi jeme baguk’an”. Kalu kabah nak nyusul, nyusul lah diwik aku dindak ngancei, tadi ade bawe’an Umak di bakul tu ndik kabah. Makanlah sughang. Aku lah ude makan petang tadi, jawabnye ketus. Nengaghi jawabannye sengkiap nak nangis anye urung karne aku lah bewudhu’. Satelah risai gale, aku besiuk baju, kah mbukak’i bakul bawean Umak. Ku kina’i isi dalam bakul, ade nasi sebungkus diibatkah nga daun pisang, splastik bihun tumis, ade gulai besantan isinye teghung masih bulat betangkai ye terakhir ade balung ayam sutik lah udim digureng mbak bai keting kakangku, ngah ade pule sambal cingeh keribanganku. Dikbedie palak ikan mas, atau balung ayam bangkok luk biasenye diibatkah umak ndik engkuk kalu ade jeme baguk’an, semele nian aku saghi ni, sah ndi siang tadi makan dibedie ye melemakkah ati. Segalenye ndik mamang gale. Anye karne lah lapagh, mane dikbedie agi ye meratikah, laju gulai nga nasi seibat bantas li ku sughang.

Udim makan, aku marak’i Kamaludin dang benyanyi sambil begitar, mak’ini bunyi lagunye:

Lagu Serasan Sekundang

Ui….. lemak niannnn aku lah ude
Tinggal besame…. nga jeme tue
Balik keghumah lah ade gale
Kapuh meraje lah kumpul pule

Midang-midang keliling ume
Ngambik ingunan… di pauk kite
Dami lah balik lah ade gale
2X pailah kite makan gegale

Mimanglah elok adat dikale
Kite diatur ahli meraje
Lemak-lemaklah.. ui jeme tue
Kami ye mude kah nguruskanye

Segale gawi sampai ngguk ngudim
Jangah lah lupe tingkah perbase
Jeme ye mude nengagh kah kate
2X Itu pancinye jeme Semende

Bejalan-jalan lemak bekance
Dikmak banyak dik kuawe sughang
Pailah bejalan sebimbing kite
Itu namenye Serasan Sekundang 2X

Sebenarnye aku marak’i die li ade kendak nak mintak antat ke badah makwo, soalnye aku nak marak’i mamang sape tau ajungnye mbeli rukuk lagi luk taun lalu, kalu ade susuknye kah kuambik, ndik mbayar geling ye kulengitkah siang tadi. Mangkenye mangke die dik marah, aku sok nanye-nanye tentang lagunye ye mpai dinyanyikanye tadi. Soalnye die ni ribang nian kalu ade ye betanye tentang daerah Semende, apelagi tentang lagu dan pantun-pantun Semende.

Kang, ngape kamu ni semangat menagh nak nyanyikah lagu jeme dusun mak ini..? banyak ige lagu baru ye ngetop luk di tivi-tivi tu. Ade Peter Pan, Nidji, ade pule rumbungan Dewa 19, lagunye keren-keren dik luk nyanyian kamu ni, base dusun gale. “Ui..kabah, base kite ni jeme Semende, njadi nak bangga nga gawi dusun kite diwik. Kalu nak milu-milu jeme saje gawian, retinye kite ni njadi ikuk’ jeme, pacak kabah nga ikuk’. kepacak’annye ndik nepak atau ngusir nyamuk saje. Kina’ilah ikuk’ sapi, ikuk’ ayam. Nah carenye, kalu nak cete mikuti care mereka tu ndik memperkaye jenis lagu kite ni, asal jangan kite rubah prinsip dasar base kite, mbak itu kabah.” (sambil ngumung melodi gitarnye dikberenti nggual lagu Serasan Sekundang). Ai, kamu ni cacak belagak saje, sok-sok nak nahankah adat kite…? (biaselah bujang kecik Semende, sukagh menagh nerime ide positif. Tuape nian kepacak’an kabah, mpai pacak begitar setetak sekutung saje lah begaya, kabah tu sekulah Teknik, kanye sekulah seni, kateku dalam ati). “Bukan cacak belagak atau sok-sok an luk kate kabah tu Ding. Anye kite ni nak ade ciri khasnye, mangke jeme keruan siape nian dighi kite ni. Ude tu sape agi kah makai, nga ngembangkah gawi dighi kite ni kalu bukan kite diwik”. Galak kabah diumungkah jeme daerah Anu misalnye, awak kabah tecuguk di Semende ini, lagu Semende sutik kabah dik apal…..?? (aku tediam, kene sekak). Aku terus tediam, soalnye fikiranku masih tefikir nga bakal duit njuk’an mamang kele.

Aku masih ngayalkah duit pengenjuk’an mamang kele, soalnye kalu dik dapat pengenju’an mamang, lukak ude istirahat dik tau nggenti geling Apri, dik beghani aku sekulah kalu lum dapat duit. Anye dik beghani minta antat ke badah makwo.Nak pegi sughang aku gi takut, akap gale jalan. Jarang menangh ye galak ngidupkah lampu di depan ghumah, alasannye bayaran PLN mahal, padahal kalu 5 watt saje kalu dik kah mahal menagh, anye entah base pendapatan jeme di dusun dik besak luk jeme di kota. Aku masih tebayang nga dai Apri, cengki marah menagh kalu pagi aku diktau mbayar geling siang tadi. Aku takut nga die, die galak nggucuh, badan besak lah die, mane kuat ngaguk pule. Mane beghani aku kalu ajaknye belage, pening palak ku mikirkanye. Akhirnye aku ngibe-ngibe minta antat nga Kamaludin ke ghumah makwo alasanku nak nggaghi umak, anye die tetap saje dindak. “Aku lah ude kesane siang tadi, lah betemu nga rumbungan mamang, lah udim gale salaman, lah ngupi lah makan disane pule. Jadilah, mpuk kabah mbak itulah pule. Tadi lah dibawekah umak bakul, tuape gawi agi kabah luk penting menangh kesane….!!! uji lah ngamuk siang tadi karne dik disisakah gulai, njadi ndik ape agi kabah kesane, mane aghi lah malam”. Anye kabah, aku lum salaman nga mamang…!!!(kateku agak nyegak dikit, ndik alasan). “Jadilah kudai kabah kesane, tadi lah udim, aku lah nginak kabah ngumung di paun, nyelah dikde..??” (aku tediam, kene sekak sekali agi) aku lah mbauk luk kah nangislah, anye lum telebus.

Ude ngumung mbak itu die becerite.Madyan, base titu tu meraje kite, kite harus hormat nga die, kite harus baik nga die, jangan kurang ajar, kite beduse kalu kite kurang ajar. Pacak dikde kabah. mbak ini mamang lah balik kah baguk’an, tadi lah ditulungi gale, bemasak, betanak, sampai mbuatkah tarup lah ude gale. Umak, Bak, kelawai kabah, muanai kabah, cebuk an kabah, lah nulung gale. Memang seharusnye mbak itu gawi kite. Sekarang ni, tinggal urusan kapuh pejadi kite nungguinye. Sekarang aku nak becerite dengat. Cerite ni ndik ngenjuk tau kabah saje. Bukan nak jahat apelagi mecah belah, mangke kabah kele pacak nentukah ye baik dan buruk dimase datang. Nah sekarang aku nak betanye. Beghape ughang rumbungan tadi balik ke dusun..?? (aku mulai ngitung…) ade 8 ughang temasuk supirnye ye bepalak cepak, kateku seadenye saje.

Hahahaha…haahha..hahaha…Supir kate kabah…? itulah kabah retinye lum tekeruan, base die tu nyelah lah yang nak diagukkah tu, ye mpai udim sekulah AKMIL tu. namenye Ikbal Putra yang ade di photo di ghumah makwo waktu masih inguwan luk kabah nilah dulu. Nah yang tue tu namenye Asri Abadi yang sekarang nak S2 ke Inggris sane, anye dikpernah ndie die tu balik dusun, njadi wajar kalu kabah dik kenal nga dengasanak kabah ye itu. Ikbal Putra ni jarang pule balik. Mungkin sate bephoto sekali itulah die balik dusun, sampai mak ini mpai balik agi. Adelah Ghepungan 15 taun dik balik ke dusun. Namenye saje jeme dusun anye dik pernah balik dusun. Anye tuape namenye anak meraje masih jurai dighi nak dianjamkah kinah.

Aku kah besejarah dikit, galak kabah nengaghinye..? “Au. Kang, anye antat aku kele, kateku besyarat” (die nginak’i jam) Au, kele kuantat. Ntah ape maksud dengasanak ini nginak’i jam sebelum jawab umunganku. Die mula’i becerite. Ame kate umak mamang tu dulu gi kecik, tulin luk kabah nilah, mane inguwan, makan dumi, merajuk itulah gawinye. Palaknye tu taguk, masih kinaan li kabah makini aghi, keningnye mbak itulah pule sentul luk ikan Lou Han. Nah, die tu dulu waktu mikut umak nga bak kelas 5 SD, sampai tamat SMA. Belage di sekolah penggawiannye nga kekanceannye Sah ndi Semende, karne jeme kite dulu dindak benagh dikatekah jeme Dusun, Apelagi James Bond (Jeme Semende Besak Di Kebon) inilah masalahnye. Sampai-sampai die nutus palak kancenye sekolah nga batu bata. Karne itulah pule mamang tu sempat masuk penjare seminggu lebih, laju bak ngurusinye nepung anak jeme yang ditutusnye palak tu. Karne itulah pule laju mamang tu urung kuliah, karne duit ndik daftar kuliah tegenti ndik nepung kancenye belage. Mamang tu dulu tekenal di sekolahannye, ngaji pacak, pidato cete, pendiriannye teguh, ame rengking sekolah dik pernah dibawah tige besak, dari SD sampai SMA mbak itulah saje, mangkenye mamang tu nak Bak kuliahkah, karne potensinye pacak ndik mbangun dusun kite Semende. Anye tuape lah nasib die, ude SMA betemu nga kance belage, laju urung kuliah. Ude nepung anak jeme tu laju mamang dikeluaghkah ndi penjare, bedamai.

Kuliah urung, mbuat mamang tu dulu sempat nak balik dusun bekebun kawe milu neng bugagh. Untunglah bak bersikeras dik ngajung, percuma saje sekulah di Pelimbang kalu nak balik wale, ngelipat luk anjing ngepit ikuk. Nah akhirnye bak ngajung die tes tentra atau pelisi. Anye kalu tetap nak kuliah nunggukah kudai makcik ude kuliah setaun agi, karne makcik tu bak pule yang nguliahkanye. Kalu nak taun ini biayanye bak diksanggup, mane anak Bak banyak pule waktu itu pangke dang dumi gale makan. Akhirnye die nurut, nak ndaftar tentra. Sambil nunggu tes tentra mamang dulu mikut proyek irigasi tengah utan. Lucunye waktu itu ade masalah logistik, sampai seminggu lebih mamang nga kanceannye di utan itu dik dikighimi jeme nasi nga makanan-makanan lainnye. Nak balik lah tanggung gaji lum dibayar, ujung-ujungnye seminggu di utan itu die nga kekancean Cuma makan Kates selame seminggu. Singgenye pas buang hajat same gale pengina’annye kates dimakan keluagh kates lagi. Due bulan die mikut proyek akhirnye balik keghumah kite, ngumungkah nak mikut tes tentra. Pas die pegi nak begawi meroyek badannye masih bunguk satelah balik luk tengkorak idup saje badannye. Laju gajinye due bulan cukup ndik mbungu’kah badan saje, baju sutik lagi diktebeli (diam-diam Madyan salut dengan perjuangan mamangnye ini).

Kalu nasib dik kah kemane-mane, sekali tes mamang lasung lulus njadi tentra. Bak dikpernah nitip kanye, apelagi nyogok nga duit serepiah kian lagi dikgalak, anye pesannye, harge diri kite jangan sampai tergadai dengan duit dan kesempatan, kalu potensi kite ade, galak beusaha, itulah taruhannye. Walhasil, mamang lulus jadi tentra, mungkin karne saingan dikit, njadi die mudah juge lulus.

Lah njadi tentra rupenye gajinye lum cukup ndik die sebulan-sebulan, mane die ngatur nak kawin pule. Akhirnye umak njualkah emas simpanannye ndik mbantu die kawin. Makcik waktu itu mpai honor ngajar lum banyak duitnye luk makini aghi. Bulan-kebulan udim kawin nga bibi’ akhirnye mamang naik pangkat, dan terus dipromosikah njadi komandan sampai mak ini die lah njadi jenderal. Retinye kalu lah kawin rezeki kite ni gancang betambah, nyelah dikde Mad…? (Madyan ngangguk-ngangguk saje) melodi gitarnye terus bedenting-denting, kadang tedengar melodi lagu kaos lampu. Pas sampai di bait “….jangan ncukah bebini due, selop jepang lagi diktebeli…” Aku senyum sughang disamping Kamaludin.

Lime belas taun di Pelimbang udem mamang njadi tentra, nga makcik yang bungsu lulus Unsri Fakultas Ekonomi, Bak balik jadi guru di dusun kite, sampai mak ini aghi. Selame di Pelimbang mamang ghapat bekirim-kirim surat, kadang nelpon Bak nga umak, ame kartu lebaran setiap tahun datang. Satelah di dusun jarang menagh ade surat, apelagi telpon. Kamaludin melanjutkah cerite…

Mad…pacak kabah dikde, ading bibi’ Yupi yang sempak’an numpak nga Marwan anak makwo yang bekebun di pagar embun mak ini aghi, lah njadi Letnan Satu, dik nyangke nian awak kecik kughus lulus njadi tentra. Udim tu, Wenny pona’an bibi’ yang sempak’an numpak nga Rogayah lah njadi dosen di Jakarta mak ini. Nah, kalu kabah lum pacak gadis putih alap yang kabah kinai siang tadi tu namenye Rusita die tu dang nyusun Skripsi, die tu anak dengasanak bibi’ tu. Cukah kalu Rogayah dulu tahan mikut mamang kalu lah njadi Dosen pule di Jakarta sane, dik kah balik ke dusun ini, njadi guru SD, itupun D2 di Semende inilah (Suaghenye merendah, seolah ade penyesalan). Abis itu die memetik gitar lagi sambil mendendangkan pantun Anak Umang.

Madyan, tekanjat dengan omongan dengasanaknye tentang Rogayah, karne sepengtahuan die dari ceritean makwo Rogayah dik tahan tinggal di ghumah mamangannye karne Bibi’ itu yang membuat dik tahan. Mujur nak dikuliahkah luk Wenny pona’an bibi itu, tamat SMA lagi lah untung. Bibi itu dik adil dengan keluarge sebelah mamang, contohnye dengan Rogayah itu die pelit bukan main, dan kalu bukan Bak yang ngirimi duit SPP mungkin Rogayah ini jadi pembantu saje di ghumah mamangnye itu dik tamat SMA. Cukup ndik makan tiap aghi saje, di dusun ini saje pacak kalu luk itu, fikiran Madyan mulai kritis.

Sehabis dengasanaknye bedendang Madyan langsung ngungkapkah pengetahuannye tentang Rogayah, yang menurut die Rogayah bukan dak pacak milui mamangnye sambil kuliah, karene die tahu Rogayah itu pintar dapat juara saje semenjak SD bahkan la sampai SMA, anye karne bibi’an yang berat sebelah mbuat die dik betah tinggal di ghumah mamangannye diwek. Apelagi dengan Marwan, die datang kesane dengan semangat njadi tentra, bahkan dengan pangkat paling rendah sekalipun die galak. Namun karne alasan die ade masalah bekas luke di ketingnye ahirnye die dik lulus dan yang lulus Yupi, pona’an bibi itu. Dasar Marwan jeme Semende yang dik kenal menyerah die ngulang tes tentra lagi tanpa pengetahuan mamangnye, dan akhirnye die lulus secaba keluar dengan pangkat Sersan Due. Namun karne die punye obsesi jadi pengusaha die berenti sate lah udim ikatan dinas dan bekebun kawe dan palawija di Pagar Embun, anak buahnye lah ade sebelas dan yang jadi penjage tokonye ade tige ughang.

Kamaludin tersenyum dengan respon adik kesayangannye ini, ternyata pancingannye berupa cerita-cerita tentang merajenye lah kene sasaran. Itulah Mad, sebenarnye yang tejadi dengan meraje kite ini, beliau ini hebat, pintar, dan tekenal. Anye setiap kelebihan pasti ade kekurangannye, salah satu kekurangan beliau ini dik bedaya ngatur bininye diwek, padahal die kepala rumah tangge. Singgenye keputusannye lebih besak dipengaruhi bininye, pun untuk mbantu keluargenye, apelagi kah mbangun dusun ini, jauh gi tangeh. Kina’ ilah, meraje kite ini jarang balik, lebaran saje ke ghumah bininye saje, jarang die lebaran balik nemui nineng, sampai mak ini nining lah matik gale tambah jarang die njengal ke dusun ini.

Die balik Cuma lime taun sekali saje, ape yang bemanfaat ndik kite? kite Cuma bangga saje dengan meraje bemubil BMW, bepangkat Jendral, ade spupu kuliah di Inggris, mane kite pacak, pendaiannye saje kite dik keruan. Tesantuklah dai betemu di jalan dik kah kenal li kite.
Balik Cuma ndik siarah, syukuran lah tamat S1, nak melanjut S2 anye jemenye ye diagukkah lagi dik balik, Ngganti nian retinye titu.
Seharusnye tu kalu lah gerut badah jeme tu, cukah ghapat juge balik dusun, kinakkah anak bininye nga jurai di dusun, mangke keruan. Lebaran tu balik, dik pule kite ni nak ancak-ancak’i nga mubil alap, bini alap, anak-anak bebase-base kota. Pentingye tu die tu datang silaturahmi. Jeme dusun kite ni bukan jeme dik bependidikan, Cuma nak jadi objek anca’-anca’an mubil alap, periasan alap, nga baju ngetren jaman mak ini. Karne yang itu dik begune nga kite. Ziarah ke kubur nining, puyangan, itu lebih bereti ndik jeme kite ni. Kalu mimang nak ngenjuk sedekah, silakan saje, anye dikde nak luk tepakse nga befikiran kalu jeme dusun tu gi mintak tulah kepacak’an. Dik bedie jeme kite ni mati kelapaghan di dusun ini.

Ingatkalah pule li kabah, Mad…!!! (Kamaludin agak nekan suarenye).
Kalu kabah besak kele lah njadi jeme gerut, sepacak kabah naghik’i jeme kite ndik dijadikah “jeme”, ntah nak kabah jadikah pegawai, nak kabah sekulahkah, nak kabah njuk mudal, nak di njuk informasi mangke pacak die mandiri. Amen dik tu, kabah lum kah gerut ige, kalu kabah mbesakkah busung kabah sughang dindak bebagi.
Anye dengan catatan sesuaikah saje nga kapasitas kabah, jangan makse dan tepakse. Kina’ilah jeme Medan, kance kakang di Pelimbang sane, uy… gerut nian kesatuan jemenye, ntah ngape laju mereka luk itu. Ame li ndie dik tau kite nak nyalahkanye jeme dighi, itulah kenyataannye. Mangke ndik pengetahuan kabah saje titu.

Dik teghase, jam lah nunjukkah jam sepuluh kurang lime belas menit. Makmane, njadi kabah kah ke Ghumah makwo Nggaghi mamang…? Pailah, kah ku antat…! Ah, kamu ni, ame lah jam mak ini malam ige, dik kah lame agi Bak nga Umak lah balik pule. Kate kabah nak betemu nga mamang? Ame urung aku nak sembayang Isyak, ame kah laju pailah.(Kamaludin serius, dalam atinye, kabah-kabh, kabah tu adingku, keruan ige kendak kabah, nak betemu nga mamang nak minta duit, mangkenye jam mak ini kuajak mangke dikbetemu agi nga mamang, karne die lah ngulang malam inilah ke Jakarta, sape agi kah ngenjuk’i kabah duit, Ncengis saje die nginai tingkah ading bungsunye yang masih polos rela berkorban nunggui die becerite hanya ndik di antat betemu nga meraje ye balik aghi, sian pule die nginaknye).

Karne Madyan, masih tingat nga duit ndik nggenti geling lengit tadi, laju dengan semangat die njawab: Pailah dik kah ngape agak malam dikit…! Ude ame kate kabah mak itu, pailah. Masukkalah gitar ni ke kamar. Belum sampai keluagh pintu kamar, Umak nga Bak lah di depan duaghe lah masuk mbawe bungkusan gulai baguk. Sayup-sayup tedengagh mamang lah berangkat malam inilah langsung ke Jakarta lewat lahat. Karne nak singgah kudai keghumah bibi’ selame tige hari tige malam disane.

Sambil makan mihun goreng bawe an umak, aku dinjuk lipatan kertas dik taunye isinye duit lime ribu. Nah, madyan ini njuk’an mamang ndik dengah, katenye ndik mbeli geling. Anye jangan abiskah gale, sisakah ndik tabungan dengah, katenye dengah nak kuliah, nambunglah mpung gi masih kecik…. suage umak lembut nian dik tau melupekanye Au, mak, timkaseh. Kuambek duit itu, atiku senang nian asenye, sambil betanye-tanye dimane mamang pacak kalu aku nak mbeli geling. Mamang ni hebat nian fikirku, aku berhayal lagi.

Di dapur umak ngumung nga Kamaludin, “duit Madyan tu dik nak dengah Kici’i, itu tu duit umak, nggenti geling umban di tebat tadi. Bukan njuk’an mamang dengah, kele dengah kicik’i ndik mbeli papir rukuk. Kalu die pacak titu duit umak pacak marah-marah die nga mamangan dengah. Karne die tadi lah cerite waktu umak nyuapi die karne mamanglah die lengit geling-gelingnye di tebat.

Ternyate umak masih terus njage hubungan anak-anaknye dengan adik kesayangannye mangke dik bedik’mak’an. Walaupun die keruan gale dengan sifat-sifat bini mamangannye yang berat sebelah dengan keluargenye. Bahkan die dik pernah mengungkit jasa-jasa yang lah dinjukkanye sampai ding beghading umak lah njadi sarjana, guru, bahkan sudah njadi Jenderal dengan anak-anaknye. Die takut anak-anaknye akan menjadi pamrih dan tidak ikhlas berbuat kebaikan, karena itu tidak boleh

Sementara itu di ruang tamu, Madyan nga Bak dang asyik-asyik cerite-cerite tentang buku cerite “Si Memed” yang barusan seminggu yang lalu dibelikannye. Die nyuruh Madyan nceritekah lagi bacean ye lah dibacekanye nga bak sebagai pendengarnye. Sekali-sekali bak ngenjuk pengarahan dan cara becerite. Persis waktu die ngajar di kelas. Dan Madyan murid privatenye. Bandul jam sudah berdentang sebelas kali, Madyan tampak terlelap dipangkuan Bak, dengan hati-hati diangkatnye ke kamar dan ditidukah di pucuk dipan yang udim dipasangi karpet anti kemih kasur. Soalnye walau lah kelas lime SD, Madyan masih galak kemih tikagh nga sekali-sekali umban di ranjang. Malam itu Madyan bermimpi sudah mengenakan seragam berpangkat bintang empat sedang Macul di sawah tunggu tubang.

6.6. Cerita Daerah

Puyang Serunting

Legenda yang terkenal di Kedurang adalah legenda Puyang Serunting atau yang tak lain adalah si Pahit Lidah. Menurut cerita dari narasumber yang penulis dapatkan, Puyang Serunting adalah leluhurnya orang Kedurang. Bukti yang mereka paparkan mengenai kebenaran Puyang serunting sebagai nenek moyang masyarakat Kedurang adalah keturunannya yang hingga saat ini masih hidup di Kedurang.

Keturunan Puyang Serunting ini, memiliki ciri-ciri berjari telunjuk bengkok. Kedua telunjuk dari kedua tangan keturunan Puyang Serunting ini tidak bisa didempetkan antara satu dengan yang lain.

Menurut legenda, Puyang serunting ini berasal dari Tanah Pasemah. Kemudian ia mencari ilmu ke Tanah Jawa, yaitu ke Kerajaan Maja Pahit. Disana ia menemui Raja Maja pahit dan kemudian diludahi olehnya sembari berkata “Pulanglah kamu, nanti apa yang kamu katakan akan terjadi”.

Maka pulanglah Puyang Serunting ke tanah Pasemah. Diperjalanan ia menemui seseorang sedang memakan buah berwarna hijau, kemudian ditanya dengan Puyang Serunting “apa yang kamu makan itu?” namun orang yang memakan buah maja yang manis itu tidak menjawabnya. Disumpahnya oleh Puyang Serunting “jadilah pahit buah maja”, maka dengan seketika buah maja yang manis menjadi pahit. Dan masih banyak lagi sumpah Puyang Serunting lainnya.

Puyang Serunting juga pernah menduduki Tanah Bengkulu, terbukti dengan adanya legenda yang sama di suku Rejang dan suku Serawai yang mengakui Puyang Serunting atau Si Pahit Lidah sebagai nenek moyang mereka. Begitu juga dengan masyarakat Kedurang dan suku Pasemah.

Terjemahan dalam bahasa Kedurang :

Puyang kami jeme gerut, namenye Puyang Serunting. Die mintak ilmu ke Jawe, ke Raje Maja Pahit. Udim tu diliughi nga Raje Maja Pahit. Katenye baleklah kaba, kele tuape ye kaba kicikka la ka njadi la itu.

Baleklah Puyang Serunting ke Pasemah, dijalan die betemu nga jeme dang makan buah. Ditanyeinye “tuape ye kaba pajuhi tu?” anye die maju mendam. Udim tu dikicikka nye njadila pait buah tu. Make pait la nian buah Maja titu, awak awale manes tegalau buah itu.

Tradisi Adat Pencucian Benda Pusaka

Pencucian benda pusaka tidak hanya ada di daerah Jawa saja. Di Kedurangpun ada tradisi pencucian benda pusaka. Benda pusaka ini berupa keris. Keris keramat ini dicuci pada bulan Muharam.

Orang yang melakukan pencucian benda pusaka ini tidak boleh orang sembarangan. Yang dapat mencuci dan menyimpan benda pusaka ini hanyalah keturunan Puyang Serunting yang bertelunjuk bengkok. Keris ini dicuci dengan air jeruk nipis hingga bersih.

Cerita Humor Kedurang

Pak Beluk

Pak beluk ini adalah seorang perjaka tua yang malas. Karena telah merasa berusia tua, ia ingin menikah. Lalu dikatakannya niatnya ini kepada neneknya. Kata neneknya carilah istri yang tidak mau makan. Maksud dari perkataan neneknya itu mana ada perempuan yang mau dinikahi bila suaminya tidak dapat menfkahinya. Dan carilah isteri yang giat bekerja dan mau menerima ia apa adanya.

Namun perkataan neneknya itu diterima mentah-mentah oleh Pak Beluk. Ia mencari-cari perempuan yang tidak mau makan. Akhirnya ia mendapatkan seorang nenek-nenek tua yang makannya hanya sesendok nasi. Karena sudah terlalu tua, diperjalanan waktu dibawa pulang ke rumah Pak beluk calon isterinya yang telah tua itu meninggal dunia.

Cerita humor ini sangat familiar di masyarakat Kedurang. Apabila ada sesorang lelaki yang bertindak bodoh, maka ia akan diejek dengan kata Pak Beluk.

Fabel

Ikan Gabus dan kucing Kecil

Alkisah dulu ada seekor ikan gabus yang berperangai buruk. Suatu hari ikan gabus ini berbicara dengan seekor anak kucing dari pinggir sungai. Ikan gabus berkata bahwa ia ingin digulai oleh anak kucing tersebut. Karena masih kecil, anak kucing tersebut tentu tidak dapat menggulai ikan gabus yang sombong itu.

Akhirnya anak kucing tersebut mengadu kepada ibunya. Lalu ibu kucing itu mengajarkan cara menangkap ikan gabus. Suatu hari ikan gabus sombong tersebut mengulangi perbuatannya lagi dengan mengejek anakkucing tersebut. Namun anak kucing telah menemukan cara untuk menangkap ikan gabus sobong itu. Iakan gabus terkena jarring yang telah dipasang oleh anak kucing sewaktu ikan gabus tidur. Akhirnya ikan gabus terperangkap jarring yang dipasang oleh anak kucing yang telah diajari oleh ibunya.

Pesan moral dari fabel Ikan Gabus dan Kucing Kecil ini adalah janganlah kita meremehkan seseorang, karena nanti bisa saja ia membalas perbuatan kita.

Bab 7

Rumah Adat

7.1. Rumah Tradisional Masyarakat Kedurang

Rumah adat atau tradisional Kedurang dinamakan rumah tinggi atau rumah panggung. Rumah tradisional ini disebut rumah tinggi karena ukuran rumah sangat tinggi. Rumah tradisional Kedurang berukuran tinggi dengan menggunakan tiang karena pada jaman dulu keadaan Kedurang masih sepi dan masih banyak hewan buas. Agar tidak diganggu binatang buas maka mesyarakat Kedurang membuat rumahnya tinggi-tinggi.

Rumah tradisional Kedurang berbahan dasar kayu. Kayu yang digunakan untuk membuat rumah tradisional ini bukan sembarang kayu, namun menggunakan kayu yang berkelas seperti tenam, meranti, dan kayu sungkai. Kayu ini diambil dari hutan di hulu sungai Kedurang. Pada jaman dulu kayu jenis tenam, meranti, dan sungkai masih banyak dan mudah diperoleh.

Agar kayu dapat bertahan lama untuk membuat rumah, kayu terlebih dahulu direndam di sungai selama beberapa hari. Kayu yang direndam ini akan bertahan lama dari keropos karena digerogoti rayap dibanding kayu yang tidak direndam.

Setelah itu kayu dipotong menjadi papan dengan gergaji panjang, karena pada jaman dulu belum ada gergaji mesin atau mesin pemotong kayu. Stelah itu kayu yang telah menjadi papan dijemur beberapa hari agar mengering. Untuk mendapatkan permukaan papan yang halus, papan tersebut diratakkan dengan sugu.

Untuk tiang rumah digunakan kayu gelondongan sepanjang kurang lebih tiga meter. Tiang terdiri dari sembilan sampai belasan tiang sesuai dengan ukuran rumah. Kayu untuk tiang pun juga digunakan kayu dengan jenis tenam atau sungkai.

Gambar 9

Rumah adat Pasemah

Rumah tradisional Kedurang ini memiliki satu ruangan utama yang berukuran sekitar 10 x 8 meter persegi. Ruangan ini digunakan untuk berkumpulnya seluruh anggota keluarga apabila ada suatu hal yang harus dimusyawarahkan. Ruangan ini juga berfungsi untuk berkumpul apabila ada syukuran. Kamar rumah adat Kedurang bisa terdiri dari tiga sampai lima kamar, yang disebut dengan “bilik”. Posisi kamar berjejer satu arah dengan pada sisi rumah yang sama.

Dinding dan lantai rumah juga terbuat dari papan yang telah dihaluskan. Tiang yang teletak di “berende” atau teras rumah tingginya sekitar dua setengah meter. Tiang dibuat berbentuk bulat, namun ada juga yang berbentuk persegi panjang. Tiang diukir sesuai selera si pemilik rumah, tidak ada makna dalam ukiran tiang.

Pada bagian atap rumah adat Kedurang dulu menggunakan atap bambu yang disebut “atap gelumpai”. Atap ini terbuat dari bambu yang dibelah seperti sembilu. Orang dulu menggunakan atap gelumpai karena belu ada atap seng. Atap gelumpai ini dapat bertahan hingga tujuh tahun.

Denah Rumah Tinggi, rumah adat Kedurang

10


2 13 4 12

1 11

3

5 6 7 8 9

13

Keterangan :

1. Teras depan “berende muke”

2. Kamar Utama

3. Ruang Tamu

4. Ruang santai

5. Kamar 1

6. Kamar 2

7. Kamar 3

8. Kamar 4

9. Ruang Makan

10. Dapur

11. Geghang

12. Teras belakang “berende belakang”

13. Tangga

Pada bagian belakang rumah terdapat “geghang” yaitu tempat mencuci piring. Geghang ini terbuat dari bambu yang dibelah dan disatukan berjajar dengan sedikit sela diantara satu bilah dengan bilah lainnya tujuannya adalah agar air dapat dengan mudah jatuh kebawah rumah.

Gambar 10

Dapur rumah adat

Pada kolong rumah diletakkan tumpukan kayu bakar untuk memasak. Kayu bakar yang ditumpuk banyak hingga sampai ke lantai rumah. Tradisinya, bagi yang memiliki tumpukan kayu bakar sedikit akan dikatakan pemalas oleh tetangga dan masyarakat dusun, sehingga kebanyakan orang dulu menumpuk banyak-banyak kayu bakar hingga memenuhi hampir seluruh kolong rumah.

Gambar 11

Bagian tiang bawah rumah adat



Gambar 12

Rumah-rumah adat di Kedurang

Bab 8

Sistem Pertanian

Pertanian di Kedurang

Masyarakat Kedurang berprofesi sebagai petani pada umumnya. Petani di Kedurang umumnya menanan padi dan kopi. Seperti penulis paparkan sebelumnya, kondisi alam Kedurang bertebing, dan tanahnya mengandung bebatuan. Salah satu dampaknya adalah sawah yang ada di Kedurang banyak berbatu, namun sangat subur. Begitu juga dengan kopi, petani menamnya dibukit-bukit dibelakang dusun.

Di Kedurang terdapat dua sungai, yaitu sungai Kedurang atau “ayek Kedurang” (air Kedurang) dan “rarai ghenik” atau “ayek anak” yaitu sungai yang ukuranya lebih kecil dibanding sungai Kedurang. Sungai Kedurang dan ayek anak terpisah oleh dusun-dusun yang ada di Kedurang. Posisinya terletak di sisi depan dan belakang dusun sepanjang Kecamatan Kedurang.

Gambar 13

Jembatan tradisional

Gambar diatas adalah jembatan tradisional yang digunakan penduduk Kedurang pada jaman dulu sebelum adanya jembatan permanen dan jembatan gantung permanen. Mereka menyebrangi sungai, karena sawah masyarakat Kedurang terletak diseberang sungai.

Dengan adanya air sungai sistem isigasi sawah menjadi lancar. Sawah terairi dengan mudah, sehingga hasil panen bagus. Beras Kedurang terkenal hingga ke Pulau Jawa. Beras kedurang berkualitas baik, berasnya putih, pulen dan beraroma wangi sehingga enak bila memakannya.

Petani padi menanam padi maksimal tiga kali dalam setahun. Saat menanam padi, penduduk melakukannya dengan cara berkelompok. Para pekerja kelompok ini diupah oleh orang yang memiliki sawah dengan padi hasil panen kelak. Yang melakukan kerja kelompok ini adalah kaum ibu-ibu.

Tidak hanya dalam menanam padi mereka bekerja kelompok, namun juga saat panen tiba. Memotong padi, merontokkan padi mereka bekerja kelompok. Namun dalam proses penjemuran padi hingga penggilingan padi mereka tidak bekerja kelompok lagi, hanya yang memiliki padi yang mengerjakannya.

Untuk tempat penyimpanan beras orang Kedurang menyimpannya di sebuah pondok yang terletak di depan atau disamping rumah. Lumbung padi ini di sebut “Tengkiang”. Tengkiang berukurang empat kali tiga meter persegi.

Untuk meggiling padi hingga menjadi beras masyarakat Kedurang dulu menngunakan tumbukan yang dinamakan “lesung”, dan alat penumbuknya dinamakan “anak lesung”. Yang menumbuk padi menjadi beras biasanya adalah ibu-ibu. Namun juga bisa dilakukan oleh kaum pria.

Gambar 14

Menumbuk padi

Bab 9

Makanan Tradisional

Makanan Tradisional Kedurang yang Mulai Dilupakan

1. Lemang Tapai Ketan Itam

Lemang adalah makanan yang biasanya disajikan dengan tapai. Meski lemang selalu tersedia setiap saat, namun keberadaan lemang akan ‘lebih terasa’ pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat ini lemang banyak dijual di banyak daerah, namun para penggemar lemang akan sepakat bahwa lemang yang paling enak adalah lemang yang berasal dari daerah asalnya, yakni Kedurang.

Lemang bisa dianalogikan dengan lontong jika di jawa ataupun ketupat, hanya saja rasanya dan cara pembuatannya sedikit berbeda. Perbedaan terutama karena adanya unsur santan, sehingga membuat lemang lebih gurih dan relatif berlemak. Perbedaan lainnya adalah bahan pembuatnya. Meski bahan dasar lemang adalah beras, namun ada juga yang menggunakan beras ketan atau bahkan ketan. Yang membedakan beras dan beras ketan atau ketan adalah daya tahan serta cita rasanya.

Cara membungkus lemang hampir serupa dengan lontong, namun cara memasaknya yang membuatnya juga cukup unik, yakni dengan memasukkan beras ketan ke dalam bambu. Selanjutnya bambu tersebut dibakar. Cara membakar lemang akan menentukan rasa. Secara tradisional, bambu ini biasanya dibakar dengan menggunakan kayu bakar selama waktu tertentu. Sedangkan di jaman modern seperti sekarang, metode memasaknya beraneka ragam, bisa menggunakan oven, microwave, ataupun kompor gas. Namun tentu saja rasanya tidak seenak lemang yang dimasak dengan cara tradisional.

Pengalaman penulis sendiri, lemang yang terbuat dari beras ketan lebih enak dimakan bersamaan tapai ketan hitam, dibandingkan dengan lemang yang terbuat dari beras. Rasanya yang gurih serta teksturnya yang kenyal membuat lemang beras ketan lebih cocok di lidah penulis. Sedikit subyektif memang, tapi kenyataannya, lemang beras ketan lebih cepat habis dibandingkana lemang beras biasa.

Gambar 15

Tapai ketan hitam

Gambar 16

Memasak lemang

Berikut adalah bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat Lemang.

Isi
1 kg Beras pulut (hitam atau putih)
5 butir kelapa (diambil santan kental dan encer)
Garam secukupnya sesuai selera

Tabung Pembungkus
- Daun pisang muda secukupnya
- Buluh lemang yang telah dibersihkan (bambu yang berkulit tipis yang dipergunakan khusus untuk membuat lemang, bukan bambu berkulit tebal yang biasa digunakan untuk membuat perabot.

Car
a membuat
1. Garam dilarutkan secara merata kedalam santan, lalu tuangkan ke dalam beras pulut. Adonan tidak boleh kebanjiran dan jangan sampai kekeringan pula.

2. Masukkan adonan ke dalam tabung bambu yang sudah dilapisi oleh daun pisang muda. Tinggi adonan kira-kira sepanjang tabung dikurangi sekitar 7 cm dari permukaan tabung.

3. Setelah itu, bakar tabung bambu yang sudah berisi adonan dengan cara menegakkannya pada sebuah sandaran. Sandaran diletakkan sedemikian rupa (berada di antar sabut dan tabung bambu) sehingga tabung mendapat panas dari kayu yang dibakar. Pembakaran ini akan berlangsung kira-kira selama 3 jam. Balik-balik posisi tabung bambu sehingga semua bagian mendapatkan panas secara merata.

2. Bipang

Bipang khas Kedurang terbuat dari beras ketan. Rasanya manis keasaman, cara membuatnya adalah :

1. Ketan dimasak seperti menanak nasi terlebih dahulu

2. Setelah masak kemudian ketan tersebut dijemur hingga kering

3. Ketan yang telah kering lalu di gorang dan diberi gula serta diberi air jeruk nipis

4. Bipang yang telah digoreng lalu dicetak

Bab 10

Obat tradisional

Obat tradisional Kedurang banyak, namun yang penulis dapatkan dari nara sumber hanya sedikit. Beberapa obat tradisional yang penulis ketahui adalah :

1. Obat diare

Bonggol batang pisang kelat yang dibersihkan dan dicacah kemudian diberi garam dan

air matang, lalu diminum oleh orang yang menderita diare.

2. Obat batuk

Sebatang bambu yang masih tertanam diruasnya dipotong pada salah satu ujung ruas dan ditutup dengan plastik atau penutup lain agar jangan sampai dimasuki air. Kemudian didiamkan semalam, keesokan harinya air yang terkumpul dari ruas bambu tersebut diminum oleh penderita batuk.

3. Obat Luka

Getah nilam atau urang aring yang telah ditubuk. Gunanya untuk menghentikan darah yang mengalir dari luka.

4. Obat sakit perut

Kunyit yang telah dibersihkan direbus dan airnya diminumkan kepada penderita sakit perut.

Daftar Narasumber

1. Nama : Hj Muslini

Usia : 71 tahun

Pekerjaan : petani

Keterangan : Nenek dari Ibu Penulis

2. Nama : Saipuddin, SH

Usia : 43 Tahun

Pekerjaan : PNS

Keterangan : Ayah Penulis

3. Nama : Lilatul Asni

Usia : 42 tahun

Pekerjaan : PNS

Keterangan : Ibu Penulis

Daftar Pustaka

Internet

Asnili, Saitah. Teks Begadisan Pada Masyarakat Pasemah.UNIB.2001